Saturday, March 04, 2006

MENCEMARTI KEBIJAKAN PERENCANAAN PENGANGGARAN DAERAH

PENGANTAR
Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena berkaitan dengan tujuan dari pemerintahan itu sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karenaoutput dari perencanaan adalah penganggaran.
Selama ini perencanaan dan penganggaran belum memiliki landasan aturan yang memadai. Penganggaran atau pengelolaan keuangan sebelumnya mengacu aturan perundang-undangan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda yaitu Indische Comptabiliteitswet atau ICW. Belakangan, kebijakan ini dianggap tidak sesuai lagi dengan semakin kompleknya pengelolaan keuangan negara. Pemerintah mensikapinya dengan mengeluarkan 3 paket undang-undang keuangan negara yang melandasi aturan pengelolaan keuangan , salah satunya UU No 17 tentang Keuangan Negara yang didalamnya juga mengatur proses penganggaran daerah.
Sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat selama ini juga belum memiliki landasan aturan yang bersifat mengikat. Digulirkannya kebijakan otonomi daerah dan dihapuskannya GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang selama ini dijadikan landasan dalam perencanaan, membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur system perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis. Hal ini-lah yang menjadi landasan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sejak digulirkannya kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 dan 25 tahun 1999, cukup banyak permasalahan yang muncul terhadap implementasi kebijakan ini. Berdasarkan hal ini, pemerintah pusat melakukan revisi kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Anehnya, dalam kedua kebijakan ini, juga mengatur hal yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran di daerah.
Ke-empat kebijakan ini mengatur hal yang tidak jauh berbeda mengenai perencanaan dan penganggaran. UU 25 tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sementara UU 17 tahun 2004 mengatur pengelolaan keuangan negara dan daerah, sedangkan UU 32 dan 33 tahun 2004, mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Artinya, proses perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu keempat undang-undang ini. Tidak menutup kemungkinan, ke-empat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum sama kuat ini dapat menimbulkan multi intepretasi dalam implementasinya, mengingat ke-empatnya mengatur substansi yang saling terkait. Berdasarkan hal inilah perlu kiranya melakukan kajian kebijakan secara komprehensif berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran di daerah.

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
Perencanaan pembangunan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang, Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM daerah), Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Meskipun demikian, Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur kembali system perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam UU 25/2004 sebelumnya, sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Walaupun UU 32/2004 tidak mengatur sedetail UU SPPN khususnya perencanaan dan proses penganggaran dalam UU 17 dan 33, namun pengaturan kembali ini menimbulkan kerancuan terhadap penafsirannya.
Sementara UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), disamping mengatur penyusunan APBD.
Perencanaan Pembangunan Daerah Menurut UU 25 2004
Banyak pihak yang mensinyalir UU 25 2004, lahir lebih mempertahankan eksistensi Bappenas. Kekhawatiran yang muncul adalah Bappenas dilikuidasi oleh lahirnya UU No. 17 2003 yang salah satunya memperkuat peran Depkeu. Jika ini yang terjadi, maka kebijakan yang dilahirkan tidaklah berdasarkan kebutuhan yang ada, melainkan sekedar pertarungan kepentingan antara lembaga negara di “Taman Suropati Vs Lapangan Banteng”. Terlepas dari hal ini, perlu melihat bagaimana system perencanaan menurut UU 25 2004 dan melihat permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul dalam implementasinya
Perencanaan jangka panjang atau RPJP Daerah dengan periode 20 tahunan memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah. Berangkat dari pengalaman orde baru, perencanaan jangka panjang 25 tahunan telah gagal mencapai targetnya. Tahapan pembangunan yang ditargetkan dengan teori pertumbuhan Rostow, tidak pernah terwujud tahapan tinggal landas di negara kita.
RPJP daerah sebagai pedoman dalam penyusunan RPJM daerah, secara tidak langsung membatasi kampanye visi, misi dan program calon-calon kepala daerah yang turun dalam Pilkada langsung, mengingat RPJM daerah ini merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih. Artinya, para calon Kepala Daerah dalam berkampanye menyampaikan visi-misi dan programnya tidak boleh terlepas dari RPJP daerah. Bayangkan jika, ada 5 calon kepala daerah, maka akan terjadi perebutan isu yang ada dalam RPJP daerah. Disamping itu perencanaan jangka panjang juga memiliki landasan hukum yang lemah. Baik RPJP nasional maupun daerah yang ditetapkan dengan undang-undang atau Perda, dapat saja berubah atau diganti, seiring dengan pergantian pemerintahan nasional maupun daerah, apabila RPJP yang disusun oleh pemerintahan sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan ideologi ataupun visi mereka. Akibatnya, RPJP daerah bisa saja terus dirubah pada saat pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda dengan RPJM daerah yang selalu dirumuskan 5 tahunan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah dengan periode 5 tahunan sebagai penjabaran visi, misi dan program kepala daerah terpilih, penyusunannya dengan berpedoman pada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional. Hal ini memungkinkan membuka peluang ketidak-sinkronan bahkan pertentangan antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional yang merupakan penjabaran visi, misi dan arah pembangunan Presiden terpilih. Misal,Presiden terpilih dari Partai A dengan ideologi X, sementara di daerah tertentu Kepala Daerah terpilih dari Partai B dengan ideologi Y, akibatnya RPJM nasional dapat bertentangan dengan RPJM daerah tersebut.
Disamping itu, perbedaan pelantikan antara Presiden dengan Kepala daerah dapat pula menyebabkan ketidaksinkronan antara RPJM Nasional dengan Daerah. Artinya, RPJM Nasional yang berasal dari Presiden yang akan berakhir masa baktinya dalam waktu 3 bulan, dijadikan acuan oleh kepala daerah yang baru dilantik dalam penyusunan RPJM daerahnya. Atau, dalam melakukan kampanye penyampaian visi, misi dan program kepala daerah juga perlu memperhatikan RPJM Nasional yang berasal dari Presiden dengan partai politik lain. Kaitannya, dengan UU 32 tahun 2004, terjadi perbedaan dasar hukum dalam penetapan RPJM daerah, dimana dalam undang-undang ini ditetapkan melalui Perda. Sementara, pada UU SPPN ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (lihat lampiran persandingan undang-undang).
Sisi positifnya, baik RPJP maupun RPJM dalam penyusunannya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) perlu mengikutsertakan masyarakat. Namun, justru terjadi kontradiksi dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), karena tidak disebutkan perlunya keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya. Padahal, RKPD sebagai rencana tahunan merupakan perencanaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling up-to-date dan langsung dirasakan masyarakat. Sedangkan, mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKPD yang dimaksud dalam undang-undang ini, hanya dalam hal pendanaan pembangunan.
Selain itu, RKPD sebagai penjabaran RPJM daerah memiliki derajat hokum lemah, karena hanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal RKPD ini dijadikan pedoman dalam penyusunan APBD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Artinya, jika terjadi ketidaksinkronan antara RKPD dan APBD, maka yang dijadikan acuan dan memiliki landasan aturan lebih kuat adalah APBD.
Sepintas perencanaan yang diatur dalam UU 25 2004 terintegrasi dengan penganggaran, karena dijadikan pedoman RKPD dalam penyusunan RAPBD. Namun, dari segi institusi yang berperan sangat memungkinkan terjadinya overlapping peran antara Bappeda yang mengusung RKPD dengan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengusung arah kebijakan APBD yang juga tercantum dalam RKPD. Kemungkinan, yang terjadi apabila kedua institusi ini tidak melakukan koordinasi maka DPRD akan menerima dua RKPD dari institusi yang berbeda.
Perencanaan dan Penganggaran Menurut UU 32 2004
Kesan umum dari UU 32 2004, berupaya menggabungkan perencanaan daerah yang diatur UU 25/2004 dan penganggaran daerah yang diatur UU 17 2003 dan UU 33 2004. Agaknya undang-undang 32/2004 ini berusaha mendamaikan pertarungan antara “Taman Suropati Vs Lapangan Banteng” di “Kalibata”. Namun UU 32/2004 ini mengatur secara umum berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah, yang justru dapat menimbulkan multi intepretasi atau kerancuan pada penafsirannya. Misalnya, seperti yang telah disampaikan di atas, adanya perbedaan landasan aturan penetapan RPJM Daerah antara UU 25/2004 dengan UU 32/2004. Selain itu, apabila undang-undang ini digambarkan dalam bentuk alur perencanaan dan penganggaran, justru prosesnya terputus atau tidak terintegrasi antara perencanaan dan penganggaran.
RKPD terputus dengan proses penganggaran karena tidak dijadikan acuan dalam proses penyusunan RAPBD. Sementara dalam undang-undang ini tidak dinyatakan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD) yang harus mengacu pada RKPD, melainkan cukup menjabarkan Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD) Walaupun, pada bagian penganggaran Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA SKPD) dijadikan acuan dalam penyusunan RAPBD, namun pertanyaannya, apakah Renja SKPD sama dengan RKA SKPD?.
Perbedaan atau multi intepretasi juga terjadi pada penganggaran menurut UU 32/2004 dengan UU 17/2003 dan UU 33/2004. Oleh karenanya perlu dibandingkan penganggaran menurut undang-undang ini.
Penganggaran Menurut UU 17 2003 dan UU 33 2004
UU 17 2003 dan UU 33 2004 seperti saudara kembar dalam pengaturan penyusunan APBD. Hal ini dapat dilihat hampir sebagian pasal dan ayat pada UU 33/2004, khusunya berkaitan dengan penyusunan APBD, merupakan “copy paste” dari UU 17/2003. Perbedaannya, hanyalah pergantian 1-2 kata dan penambahan 1 ayat dalam pasal-pasalnya, namun tetap mengisaratkan hal yang sama. Dari kedua aturan yang memiliki kekuatan hokum yang sama ini, 12 ayat menyatakan atau mengatur hal yang sama. Pada dasarnya, pencatuman kembali aturan kedalam aturan yang lain tidaklah menjadi suatu masalah, namun alangkah baiknya jika pengaturan hal yang sama cukup merujuk aturan yang dimaksud. Sehingga tidak terkesan melakukan pemborosan aturan atau ketidak-kreatifan dalam penyusunan undang-undang, yang dapat menjadi preseden buruk bagi para aparat di daerah dalam penyusunan Perda. Apalagi selama ini telah terbukti banyak daerah yang menyusun Perda hanya Copy paste dari daerah lain atau aturan yang lebih tinggi.
Walaupun kedua aturan ini tidak jauh berbeda, namun jika dibandingkan dengan UU 32/2004, dapat terjadi multi-interpretasi dalam pemahamannya.
Dari ke-empat undang-undang di atas, seperti tergambarkan dalam alur perencanaan dan penganggaran, maka tidak menutup kemungkinan perencanaan dan penganggaran di daerah akan berbeda-beda tergantung dari undang-undang yang digunakannya. Multi-intepretasi dari perbandingan alur tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada UU 17/2003 dan UU 33/2004, Renja SKPD disusun berdasarkan prestasi kerja, sementara UU 25/2004 dan UU 32/2004 tidak memerintahkan hal ini. UU 32 2004, menyatakan RKA SKPD yang disusun berdasarkan prestasi kerja. Pertanyaannya, apakah Renja SKPD dan RKPD sama.
2. Pada UU 25/2004, Renja SKPD berpedoman pada Renstra SKPD dan mengacu pada RKPD. Sementara pada UU 32/2004 Renja SKPD dirumuskan dari Renstra SKPD, tanpa memerintahkan mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU 33/2004, menyatakan Renja SKPD penjabaran dari RKPD tanpa berpedoman pada Renstra SKPD
3. Pada UU 32 2004, KDH menetapkan prioritas dan plafon. Sementara pada UU 17/2003 dan UU 33/2004, prioritas dan plafon dibahas bersama DPRD dan Pemda
4. Pada UU 32 2004, prioritas dan plafon yang telah ditetapkan kepala daerah dijadikan dasar penyusunan RKA SKPD. Sedangkan UU 17 2003 dan UU 33 2004, prioritas dan palofon sementara yang dibahas DPRD dengan Pemda yang dijadikan acuan penyusunan RKA SKPD
5. Pada UU 32/2004 RKA SKPD disampaikan kepada PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) sebagai dasar penyusunan RAPBD. Sedangkan UU 17/2003 dan UU 33/2004 RKA SKPD disampaikan ke DPRD untuk dibahas, hasilnya disampaikan ke PPKD
6. Pada UU 17 2003, hak DPRD untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dan antisipasinya jika RAPBD tidak disetujui. Sedangkan pada UU 33 2004 dan UU 32 2004 tidak memerintahkan hal ini.

PENUTUP
Dari permasalahan perundang-undangan di atas, yang menjadi korban pertama dari kebijakan ini adalah pemerintah daerah mengalami kegamangan aturan yang akan dijadikan acuan dalam perencanaan dan pengganggaran. Bukan tidak mungkin, pertarungan antara “Taman Suropati Vs Lapangan Banteng” dapat menjalar ke daerah.
Ketidakjelasan aturan yang dijadikan acuan oleh Pemerintah daerah dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi dan efektivitas dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah serta pada saat implementasi pembangunan. Bahkan, korupsi di daerah akan tetap merajalela, seperti pengalaman yang lalu akibat ketidakjelasan acuan pengaturan keuangan DPRD ketika PP 110 dibatalkan, serta menjebloskan anggota DPRD di berbagai daerah. Lebih parah, dapat terjadi stagnasi perencanaan dan pengganggaran di daerah yang berakibat pada mandegnya pembangunan di daerah, dan akhirnya rakyat pula yang menjadi korban yang paling dirugikan.
Berkaitan dengan permasalahan ini, kiranya perlu untuk mereview kembali ke-empat undang-undang yang mengatur perencanaan dan penganggaran di atas, merevisinya dan sinkronisasi antara undang-undang secara lintas departemen dan menghilangkan ego masing-masing departemen, serta membuka ruang keterlibatan publik seluas-luasnya.
Pihak terkait di tingkat lokal seperti Pemerintah Daerah, DPRD dan civil society pegiat di bidang perencanaan dan penganggaran, adanya ketidak-jelasan aturan ini dapat dijadikan momentum dan peluang untuk memunculkan kreativitas masing-masing daerah dalam meramu proses perencanaan dan penganggaran yang lebih trasnparan, akuntabel dan partisipatif sesuai dengan kondisi lokal yang ada. Akhir kata, kiranya kita semua perlu merenungkan ungkapan berikut “Kegagalan dalam Perencanaan dan Penganggaran sama dengan Merencanakan Kegagalan dan Kebocoran Anggaran”.
Disampaikan pada acara diskusi publik FITRA tentang Tinjauan Kebijakan Perencanaan Penganggaran daerah, 29 Desember 2004, dengan pembicara panel lainnya. Timbul Pudjianto (Dirjen BAKD DEPDAGRI), Dirjen Perbendaharaan Negara DEPKEU, dan Direktur Perencanaan Daerah Bappenas