Friday, March 02, 2007

Menggali Kuburan Parlemen Daerah

Menggali Kuburan Parlemen Daerah

Sequel kisah kasus korupsi PP No 110/2000 yang menjerat parlemen daerah 1999-2004 akan segera beredar Jilid II-nya, seiring ditetapkannya PP No. 37/2006 tentang Perubahan Kedua PP No 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Durian runtuh berupa tunjangan komunikasi insentif (TKI) sebanyak 3 kali uang representasi dan dana operasional (DO) bagi pimpinan DPRD yang diberlakukan surut mulai Januari 2006, dapat dipastikan memberatkan keuangan daerah. Diperkirakan, konsekuensi adanya PP ini akan menelan kas daerah Kab/Kota sebesar Rp. 2,4 triliyun hanya untuk membayarkan rapelan TKI dan DO tahun 2006 plus 2007 diluar alokasi anggaran untuk Sekwan dan DPRD Propinsi. Untuk daerah miskin , dengan PAD terbatas, otomatis ini akan mengurangi prioritas belanja pembangunan untuk publik secara signifikan. Padahal, menurut UU No 32/2004 mengisaratkan belanja daerah diprioritaskan untuk peningkatan pelayanan dasar.

Pemberlakukan PP ini akan menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di berbagai daerah dalam mengelola APBDnya. TKI dan DO per Januari 2006, tidak dapat dialokasikan pada perubahan APBD tahun 2006. UU No 33/2004 dan UU 32/2004, menyatakan APBD-P ditetapkan paling lambat 3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir atau bulan Oktober 2006. Sementara PP ini baru ditetapkan pada tanggal 14 November 2006. Kedua tunjangan rapelan per Januari 2006 ini, juga tidak bisa dialokasikan pada APBD 2007. Karena beberapa Undang-undang yang mengatur keuangan daerah, seperti UU 17/2003, UU 1/2004, UU 32/2004 dan UU 33/2004, menyatakan tahun anggaran adalah selama 1 tahun mulai 1 Januari sampai dengan Desember.

Perkembangan Regulasi Keuangan DPRD

Secara historis, regulasi keuangan DPRD telah berganti sebanyak 3 kali. Masih segar dalam ingatan kita, kasus-kasus korupsi PP No.110/2000 pada DPRD periode 1999-2004, diantaranya kasus uang jasa pengabdian atau uang purna bakti, yang pada awalnya tidak dibenarkan PP ini. Kemudian, terbitlah PP 24/2004 yang membenarkan adanya uang purna bakti dan tunjangan perumahan bagi anggota DPRD. Ternyata, tunjangan perumahan ini menuai protes dari BPK yang mengharuskan adanya rumah yang disewa. Pemerintah, akhirnya menerbitkan kembali PP No 37/2005 sebagai perubahan pertama, yang mensahkan uang sewa rumah yang diberikan setiap bulan tanpa harus benar-benar menyewa rumah. Terakhir, untuk memuaskan libido pengerukan uang rakyat di APBD, dikeluarkan PP No 37/2006 dengan tambahan penghasilan yang fantastis berupa TKI dan DO.

Hal ini menimbulkan kesan, upaya pemberantasan korupsi, dilakukan dengan cara menerbitkan regulasi sebagai alat justifikasi agar tindakan yang sebelumnya merupakan pidana, dilegalkan melalui peraturan atau korupsi yang dilegalkan.

DPRD seharusnya lebih kritis tidak menelan mentah-mentah regulasi ini. Bisa jadi, kenaikan penghasilan DPRD, merupakan upaya pengalihan isu, yang awalnya publik menyoroti eksekutif dalam penyusunan anggaran, beralih untuk mengkritisi penghasilan DPRD atau meminjam istilah konflik Cooser (1956) sebagai savety valve (katup penyelamat) untuk meredam konflik agar tidak tertuju pada objek sebenarnya.

Secara manifest, pemberlakukan PP 37/2006 memang memiliki fungsi positif bagi DPRD untuk menambah koceknya. Tetapi, dibaliknya mengandung fungsi laten yang bersifat disfungsional (negative) sebagai un anticipated qonsequences (Robert K. Merton, 1964) . Penambahan penghasilan DPRD akan memperburuk citra DPRD di mata rakyatnya, akan terjadi pendeletigimasian yang berakibat pada pendegradasian fungsi anggaran DPRD dan menyebabkan dominasi kembali pengelolaan anggaran oleh eksekutif.

Oleh karenanya, jika tidak ingin menggali kuburannya sendiri DPRD perlu mempergunakan kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences) dengan menimbang fungsi positif dan negatif sebelum menerapkan regulasi ini.

Untuk Pemerintah, rencana dikeluarkannya Permendagri sebagai turunan PP ini membuktikan bentuk ketidaktegasan SBY dan cara Pemerintah yang cari selamat dari reglasi yang ditetapkannya. Karena toh, secara hirarkies PP lebih tinggi ketimbang PerMen, sehingga tidak salah jika DPRD tetap mengacu pada PP. Seharusnya, SBY tidak ragu untuk mencabut dan merevisi PP ini. Salah satu formulasi yang dapat dipergunakan untuk mengatur pengahasilan DPRD yang pro rakyat, dapat mempergunakan parameter berdasarkan proporsi belanja pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Sehingga, proporsi penghasilan DPRD akan menjadi lebih tinggi, kalau DPRD mampu mengalokasikan anggaran pelayanan dasar yang tinggi pula.

Yuna Farhan

Wakil SekJen FITRA

Dimuat harian Kompas, 15 januari 2007

MENANTI KE(TIDAK)TEGASAN SBY?

MENANTI KE(TIDAK)TEGASAN SBY?

Presiden SBY akhirnya mau merevisi PP 37/2006 dengan menghapus pasal 14 d tentang pemberlakuan surut tunjangan komunikasi insentif (TKI) dan dana operasional (DO) per Januari 2006. Namun, langkah pragmatis ini tidak menjawab persoalan substantif yang dituntut rakyat, melainkan bentuk manuver politik untuk sekedar mengembalikan citra di mata publik.

Alih-alih mengembalikan TKI dan DO, dengan menanggalkan rasa malunya, DPRD dari berbagai daerah bersatu padu untuk mengeruk uang rakyat secara legal dengan menolak revisi PP 37/2006. Seharusnya dari awal Pemerintah mengambil langkah tegas, akui PP ini sebagai produk yang cacat hukum dan mengganti pejabat-pejabat yang terkait atas skandal ini.

Pantaslah kiranya, jika Pemerintah Pusat dituding hanya menjadikan DPRD sebagai obyek mendokrak citra pemerintah. Principle of least interest George C. Homans (1974) menjelaskan hal ini, orang yang memiliki kepentingan paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi.

Padahal , rencana revisi ini-pun masih menyisakan persoalan lain, Pertama, pengalokasian TKI dan DO berimplikasi terjadinya duplikasi anggaran dan tidak akuntabel. Pasalnya dalam PP sebelumnya (PP 24/2004 dan PP 37/2005), pada pasal 24 disediakan belanja penunjang kegiatan untuk mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD. Sehingga TKI dan DO ini tidak perlu dialokasikan kembali, karena seluruh kepentingan DPRD bisa diakomodasi dalam belanja penunjang kegiatan. Mengingat sistem anggaran mempergunakan pendekatan kinerja, maka setiap rupiah yang dikeluarkan harus dibisa diukur target kinerjanya. TKI dan DO yang diberikan dalam bentuk tunjangan sebagai penghasilan bulanan, tidak akan bisa diukur kinerjanya atau tidak memiliki akuntabilitas yang jelas.

Kedua, lamanya jangka waktu pengembalian TKI dan DO yang diterima anggota DPRD sampai dengan Desember 2007, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kedua tunjangan ini untuk memperkaya diri DPRD. Padahal, semakin cepat para anggota DPRD mengembalikan TKI dan DO, dapat direalokasi untuk belanja pelayanan publik yang bersentuhan untuk rakyat..

Ketiga, Tidak relevan pemberian TKI dan DO berdasarkan kemampuan keuangan daerah dengan parameter kemampuan PAD. Besarnya kemampuan PAD tidak berhubungan dengan besar kecilnya biaya komunikasi DPRD dengan konstituen maupun operasional yang diperlukan pimpinan DPRD. Implikasinya, DPRD akan berlomba-lomba membuat Perda-perda untuk mendongkrak PAD agar TKI dan DO yang mereka peroleh bisa lebih besar. Secara historis, terbukti Perda-perda peningkatan PAD ini, malah menghambat masuknya investasi ke daerah karena dibebani berbagai pungutan

Penghasilan DPRD Pro Rakyat

Parameter jenis-jenis penghasilan DPRD selama ini mempergunakan besarnya gaji pokok Kepala Daerah (KDH) sebagai dasar perhitungan. Misalnya, uang representasi Ketua DPRD besarnya 100% Gaji Pokok KDH. Alasannya, DPRD dan Kepala Daerah memiliki posisi yang sederajat dan sama-sama dipilih oleh rakyat. Padahal, justru kesamaan penghasilan ini menimbulkan kedekatan politik DPRD dengan Kepala Daerah.

Tidak menutup kemungkinan, jika para Kepala Daerah juga akan menuntut kenaikan gaji pokok mereka yang diatur dalam PP 59/2000. Maka, otomatis kocek anggota DPRD kembali kebanjiran kenaikan besarnya berbagai penghasilan mulai dari uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan, TKI dan DO. Tanpa harus mengajukan perubahan terhadap PP yang mengatur kedudukan keuangan DPRD. Karena semua jenis penghasilan DPRD itu mengacu pada besarnya gaji pokok KDH.

Jalan keluarnya, untuk melahirkan ”wakil rakyat daerah” yang benar-benar pro terhadap kepentingan rakyatnya, ke depan penghasilan DPRD tidak lagi mempergunakan parameter besarnya gaji pokok KDH maupun PAD. Melainkan, mempergunakan parameter alokasi belanja pemenuhan hak-hak dasar, seperti pendidikan dan kesehatan atau pengentasan kemiskinan.

Misal, besarnya total belanja penghasilan DPRD maksimal 0,25% dari belanja langsung (program) pendidikan dan kesehatan diluar belanja pegawai. Secara tidak langsung, fungsi anggaran DPRD akan diorientasikan untuk meningkatkan alokasi pada sektor pendidikan dan kesehatan yang selama ini belum mendapatkan porsi yang memadai. DPRD akan berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan, karena akan berpengaruh terhadap meningkatnya penghasilan mereka. Jadi, meskipun penghasilan DPRD meningkat, setidaknya hak-hak dasar rakyat, pendidikan dan kesehatan dapat segera terpenuhi.

Dengan begitu, Pemerintah tidak perlu lagi mengatur secara rinci-rinci besarnya jenis-jenis penghasilan DPRD. Seperti yang dikeluhkan saat ini, oleh para anggota DPRD, terhadap besarnya intervensi Pemerintah. Peran pemerintah pusat di era otonomi daerah cukup memberikan rambu-rambu dengan mengatur besaran maksimal total belanja penghasilan DPRD secara keseluruhan. Selanjutnya, berikan kewenangan kepada DPRD untuk mengatur mekanisme penghasilan yang akan diterima oleh masing-masing anggotanya.

Bola ada di tangan pemerintah. Pada evaluasi akhir tahun, Presiden SBY menyatakan akan bertindak tegas pada sisa pemerintahannya. Kita nantikan ke(tidak)tegasan Presiden SBY, apakah akan mencabut PP 37/2006 dan menggantinya dengan PP yang pro rakyat? atau hanya sekedar merevisi? Dan menimbulkan komflik politik yang berkepanjangan.

Yuna Farhan

Wakil Sekjen Seknas FITRA.

Anggota Koalisi Nasional Tolak PP 37/2006