Friday, April 27, 2012

Moratorium Belanja Pegawai


Tepat tanggal 1 September 2011 kebijakan moratorium Pegawai Negeri Sipil (PNS) resmi diberlakukan selama 16 bulan. Kebijakan yang berlaku sampai 31 Desember 2012 ini, ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani tiga menteri; Menteri Keuangan, Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri.

Asal muasal kebijakan ini, dilontarkan oleh Menteri Keuangan, yang mengeluhkan semakin tingginya beban belanja Negara untuk membiayai pegawai, di tingkat pusat maupun daerah. Disambut tim reformasi birokrasi, menawarkan moratorium pengangkatan PNS. Padahal, beberapa bulan yang lalu, Menkeu sendiri yang paling ngotot mengusulkan kenaikan gaji pejabat, pasca Presiden mengeluhkan gajinya yang tidak pernah naik.

Beban belanja pegawai pada APBN memang semakin berat. Pada RAPBN 2012, belanja pegawai merupakan alokasi belanja tertinggi, sebesar Rp. 215,7 triliun. Bahkan mengalahkan belanja subsidi yang selama ini mendominasi. Potret yang sama terjadi di daerah. Hasil analisa FITRA pada APBD 2011, terdapat 124 daerah yang beban belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah diantaranya mencapai 70%. Analisis Kemenkeu juga menunjukan, belanja pegawai terbesar di Kabupaten Demak dengan mencapai 89%. 

Bom waktu belanja pegawai tidak terlepas dari kebijakan kepegawaian yang tidak memperhatikan implikasinya terhadap anggaran Negara. Selain rekrutment pegawai baru, kebijakan seperti,  pemberian gaji ke-13, kenaikan gaji pokok antara 5-20% sejak tahun 2006, dan kenaikan berbagai tunjangan serta pemberian tambahan uang makan, secara otomatis tidak hanya menambah beban belanja gaji pokok. APBN juga harus menanggung beban pembayaran pensiun, yang sebelumnya sharing pembiayaan dengan Taspen, sejak tahun 2009, seratus persen menjadi beban APBN (Nota Keuangan RAPBN 2012, IV-80).

Kebijakan pemberian remunerasi sebagai salah satu agenda reformasi birokasi,  yang dimulai sejak tahun 2007 pada 3 Kementerian/Lembaga (K/L) dan terakhir pada tahun 2011 pada 14 K/L juga menambah beban belanja pegawai. Tercatat pada tahun 2010 dialokasikan 13,4 triliun untuk pemberian remunerasi ini.

Begitu pula dengan semakin menjamurnya Lembaga Non Struktural (LNS) yang berpotensi memiliki peran tumpang tindih. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2007, tercatat terdapat 76 LNS dengan memakan beban belanja pegawai Rp. 483,3 miliar. Kemudian  membengkak menjadi 101 LNS dengan belanja pegawai Rp. 1,87 triliun pada tahun 2010.

Buruknya potret anggaran daerah, juga tidak terlepas dari kebijakan anggaran dan kepegawaian yang tidak selaras di tingkat pusat. Seperti diketahui, rata-rata 80% sumber pendapatan daerah tergantung dari dana perimbangan. Disisi lain, 68% belanja transfer yang dialokasikan ke daerah, sebagian besar diperuntukan belanja pegawai, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan tambahan tunjangan Guru. Ditambah lagi dengan formula DAU yang memperhitungkan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar. Sehingga tidak memberikan insentif bagi daerah yang melakukan perampingan birokrasi atau meningkatkan pendapatannya.

Kebijakan DAU ini juga tidak memberikan disisentif bagi laju pemekaran daerah. Sebagai konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai merupakan keharusan, ditambah rekrutmen yang masih mengutamakan putra daerah dibandingkan profesionalitas. DAU yang menjadi tumpuan membiayayai pegawai daerah, secara tidak langsung berkurang . Sebagai contoh, pada tahun 2008 terdapat 481 daerah dan tahun 2009 naik menjadi 477 daerah, karena terjadinya pemekaran, rata-rata penerimaan DAU berkurang, dari Rp. 358 milyar pada tahun 2008 menjadi Rp. 351,7 miliar pada tahun 2009 (Nota Keuangan, 2011).

Sebagai arena zero sum game, belanja pegawai yang membengkak di daerah, otomatis mengorbankan alokasi belanja lain seperti belanja modal. Semakin mahalnya “ongkos tukang” di daerah, juga disebabkan tidak jelasnya pengaturan mengenai  tambahan tunjangan pegawai daerah. DKI Jakarta sebagai daerah kaya yang beruntung sebagai Ibu Kota, memberikan tambahan tunjangan pegawai setingkat staff sebesar Rp. 2,9 – Rp. 4,7 juta dan pejabat eselon I sebesar Rp. 50 juta.


Kebijakan moratorium saja tidak cukup, sepanjang kebijakan reformasi birokrasi masih bersifat parsial dan sebatas “kosmetik politik”. Buktinya, meski-pun kebijakan moratorium PNS diberlakukan, belanja pegawai pada RAPBN 2012 justru meningkat paling tinggi sebesar Rp. 32,8 triliun. Didalamnya juga dialokasikan gaji bagi tambahan pegawai baru (Nota Keuangan RAPBN 2012, IV-205).

Moratorium juga tidak akan signifikan mengurangi beban belanja pegawai. Dari kajian FITRA, rata-rata kenaikan jumlah pegawai dalam 5 tahun terakhir  adalah 2 persen, sementara kenaikan belanja pegawai jauh lebih signifikan yakni 20%. Artinya, beratnya belanja pegawai lebih disebabkan semakin meningkatnya ongkos pegawai dibandingkan pertumbuhan jumlah Pegawai.

Kebijakan moratorium PNS dan beratnya beban belanja pegawai, merupakan penanda kegagalan disain reformasi birokrasi,  karena tidak mempertimbangkan konsekuensinya terhadap beban anggaran. Kebijakan yang masih bersifat ego sektoral, berimplikasi terhadap kepegawaian dan beban anggaran. Struktur birokrasi yang semakin gemuk, dengan menjamurnya LNS dan belanja birokrasi yang semakin boros dengan tambahan remunerasi dan tunjangan, justru bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang dipahami publik selama ini.

Perbaikan penghasilan dan pemberian remunerasi, seharusnya diikuti dengan peningkatan produktivitas pegawai. Sementara, pegawai yang tidak produktif dan tidak kompeten, akibat rekruitment yang masih sarat KKN, serta pejabat yang memiliki harta tidak wajar,  harus dipangkas. Dengan demikian, hasil pemangkasan dapat dikonversi untuk menutupi tambahan penghasilan. Sehingga dapat menghasilkan birokrasi yang ramping dan efisien dari sisi biaya.

Moratorium bukanlah kebijakan utama reformasi birokrasi. Moratarium harus dipandang sebagai pintu masuk untuk membenahi disain reformasi birokrasi. Selama moratorium dilakukan, harus disertai dengan kebijakan  dari sektor lain yang terintegrasi dan sejalan. Seperti; pembenahan LNS, perampingan pegawai tidak produktif, rasio pegawai, indikator kinerja pegawai, standar pelayanan, perbaikan skema dana perimbangan, dan pemekaran daerah. 

Kebijakan moratorium saja, justru akan menghadapkan Negara ini pada “bom waktu” belanja pegawai, yang semakin mempersempit ruang fiskal untuk membiayai pembangunan.


Yuna Farhan
SekJen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran)


Yuna Farhan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
Tanggal: 7 September 2011
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/09/07/02042273/moratorium.belanja.pegawai

Mafia (Badan) Anggaran


Pasca pemanggilan keempat pimpinan badan anggaran DPR oleh KPK, publik dikejutkan oleh aksi boikot pembahasan anggaran oleh badan ini. Alih-alih membenahi mekanisme pembahasan anggaran, pimpinan badan anggaran menyerahkan pembahasan anggaran kepada pimpinan DPR.

Memang konstitusi menjamin fungsi anggaran DPR untuk tidak memberi persetujuan atas proposal anggaran yang diajukan pemerintah.  Namun dalam kasus ini, jelas badan anggaran salah kaprah.  Disetujui atau tidak disetujuinya usulan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah harus berkaitan dengan substansi dari usulan anggaran tersebut.

Sementara mogoknya aksi pembahasan anggaran, sama sekali tidak berkaitan dengan substansi RAPBN 2012. Otoritas memberikan persetujuan anggaran, disalahgunakan sebagai bargaining position pimpinan Banggar agar tidak dipersalahkan atas kebijakan anggaran yang diputuskan dan tidak sentuh oleh penegak hukum.  Dalam konteks ini, pimpinan Banggar justru melanggar sumpah atau janji jabatan yang diucapkannya, untuk mengutamakan kepentingan Bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan golongan.

Tentu  lain ceritanya, jika penolakan pembahasan anggaran berkaitan dengan substansi.  Rakyat akan mendukung DPR, apabila usulan anggaran yang diajukan pemerintah tidak pro rakyat dan DPR menawarkan alternatif pengganti anggaran yang jauh lebih baik.

Norton (2003), mengidentifikasi tiga tipologi peran legislatif dalam proses penganggaran; persetujuan anggaran, mempengaruhi anggaran dan pembuatan anggaran. Pada masa orde baru, DPR berada pada tipologi pertama, lemah secara otoritas dan kapasitas untuk mengubah usulan anggaran yang diajukan eksekutif, sekedar menjadi stempel atas usulan anggaran.

Pasca amandemen ketiga konstitusi, DPR memiliki otoritas untuk mengubah atau-pun menolak usulan anggaran eksekutif, namun memiliki kapasitas yang tidak memadai untuk mengusulkan alternatif anggaran dari mereka sendiri. Ditambah dengan biaya politik tinggi untuk menghidupi partai politiknya, menyebabkan fungsi anggaran DPR terjebak dalam pragmatisme “kejar setoran” memburu rente anggaran.

Apa yang dilakukan KPK memeriksa Pimpinan Badan Anggaran DPR, terkait kasus suap di Kemenakertrans, sudah berada pada jalur yang benar. Bekerjanya praktek mafia anggaran dalam kasus ini harus dilihat dari hulu kebijakan anggaran yang diputuskan oleh Banggar. Dana Percepatan Pembangunan Infratruktur Daerah (DPPID) yang baru dialokasikan pada APBN Perubahan 2011, merupakan sumber terjadinya kasus ini.

Badan Anggaran tidak memiliki kewenangan dan kapasitas teknis untuk menetapkan  besaran alokasi dan daerah yang memperoleh DPPID. Dari sisi kewenangan, pasal 107 ayat 2 UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, secara tegas membatasi diskresi Banggar yang hanya membahas alokasi yang telah diputuskan oleh komisi. Sementara DPPID,  diputuskan dalam rapat kerja badan anggaran, dari hasil optimalisasi pembahasan anggaran yang dilakukan. Sayangnya, memang Tata Tertib (Tatib) DPR tidak memiliki pengaturan mekanisme pengalokasian anggaran hasil optimalisasi yang dilakukan oleh Badan Anggaran.

Badan Anggaran DPR juga tidak memiliki kapasitas teknis untuk menentukan alokasi dan daerah yang memperoleh dana ini. Implikasinya dana ini justru mengacaukan sistem dana perimbangan sebagai instrumen mengatasi kesenjangan antar daerah.

Analisis FITRA, menunjukan tidak ada korelasi pengalokasian dana ini terhadap indeks fiskal ataupun indeks kemiskinan suatu daerah. Bahkan terdapat kecenderungan secara nasional, daerah yang memiliki indeks kemiskinan tinggi atau dengan jumlah penduduk miskin tinggi mendapatkan alokasi anggaran lebih  sedikit. Pola yang dapat dibaca, orientasi pengalokasian adalah sekedar bagi-bagi rata anggaran. Sehingga tidak salah dikatakan, dana ini sebagai dana aspirasi terselubung DPR. Tergantung dari kemampuan daerah memiliki akses atau melobi untuk memperoleh dana ini. Tergantung dari kemampuan daerah menyetor ataupun para kontraktor yang berani memberikan dana talangan dengan “sistem ijon” untuk mengerjakan proyek dari dana ini.

Dana ini juga berpotensi tumpang tindih dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Setidaknya terdapat sepuluh bidang yang sama dialokasikan DAK, juga dialokasikan dalam DPPID. Dalam kasus suap Kemenakertrans, terdapat sepuluh daerah yang telah mendapatkan alokasi tugas pembantuan untuk kegiatan yang sama, dialokasikan kembali pada DPPID kawasan transmigrasi.

Menjadi pertanyaan, mengapa dana ini tidak disatukan saja dalam bentuk DAK, yang diatur dalam Undang-undang dan telah memiliki formula dan kriteria yang lebih jelas. Ketiadaan kriteria dalam pengalokasian dana ini-lah yang menjadi penyebab bekerjanya praktek mafia anggaran dan anggaran yang dialokasikan menjadi tidak tepat sasaran dan efektif.

Sebagai penunjuk, pengumuman yang kerap dikeluarkan Kemenkeu atas beredarnya surat atau dokumen palsu daerah yang memperoleh alokasi dana ini, menggambarkan ada yang salah dalam alokasi ini sehingga menyuburkan calo-calo anggaran. Ini juga mempertegas, kasus suap Kemenakertrans hanyalah puncak gunung es,  yang juga berpeluang  terjadi pada bidang-bidang lain dalam DPPID.

OECD (2003) memang mengkategorikan secara umum pembahasan di DPR secara terbuka. Namun, keputusan-keputusan informal justru  terjadi secara tertutup dan tidak diketahui publik. Dalam kasus pembangunan pelabuhan di kawasan timur Indonesia yang melibatkan salah seorang anggota Panitia Anggaran, justru keputusan usulan kenaikan anggaran dilakukan di hotel yang turut dihadiri anggota lainnya.

Selain itu, masih banyak rapat-tapat pada tingkat panitia kerja pada Banggar DPR yang masih bersifat tertutup. Dibandingkan alat kelengkapan lain, Badan Anggaran, adalah alat kelengkapan yang tidak mempublikasikan hasil-hasil rapatnya pada website DPR.

Penyerahan pembahasan anggaran oleh pimpinan badan anggaran DPR kepada pimpinan DPR, dapat menjadi momentum pembenahan mekanisme pembahasan anggaran di tubuh DPR. Badan Anggaran harus kembali ke khitah-nya. Badan Anggaran hanya membahas alokasi yang diputuskan oleh Komisi. Domain badan anggaran sebatas melakukan sinkronisasi atas usulan alokasi yang diajukan komisi, membahas asumsi ekonomi makro dan pendapatan, alokasi anggaran menurut  jenis,  fungsi dan organisasi. Sementara, domain Komisi adalah membahas alokasi program kegiatan mitra kerja komisinya, termasuk mengusulkan transfer daerah yang berkaitan dengan  bidang Komisi-nya.

Tatib DPR juga harus mengatur, mekanisme pengalokasian anggaran yang diperoleh dari hasil optimalisasi pembahasan anggaran. Hasil optimalisasi, diperoleh pada saat pembahasan anggaran sudah memasuki tahap akhir di tingkat badan anggaran, sehingga tidak mungkin untuk dibahas kembali pada tingkat Komisi. Tidak mengherankan, meskipun APBN sudah disetujui dalam rapat paripurna DPR, namun pembahasan Komisi dengan mitra kerja masih bisa berlangsung  mendiskusikan program dan kegiatan. Termasuk pada Badan Anggaran yang membahas alokasi DPPID. Titik ini yang sebenarnya cukup rawan terjadinya mafia anggaran. Karena pembahasan sudah jauh dari pantauan publik.

Untuk menghindari ini, hasil optimalisasi hanya diperkenankan untuk menutup atau mengurangi defisit anggaran. Sidang paripurna pengesahan APBN, sepatutnya menjadi penetapan final anggaran  program kegiatan dan alokasi anggaran untuk daerah. Tidak diperkenankan adanya pembahasan anggaran pasca paripurna DPR. Seluruh pembahasan anggaran harus bersifat terbuka, termasuk pada rapat panitia kerja dan dilakukan di dalam gedung DPR.

Kita tidak menginginkan Badan Anggaran dibubarkan atau fungsi anggaran DPR dilemahkan. Namun, kita juga tidak menginginkan DPR serta Badan Anggaran menjadi wadah mufakat jahat para mafia yang mengerogoti anggaran rakyat.



Yuna Farhan
Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran)
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/09/30/0922013/Mafia.Badan.Anggaran 
Tanggal : 30 September 2011

Pemburu Rente Anggaran


JUMAT, 17 JUNI 2011 | 02:49 WIB
Yuna Farhan
Dalam beberapa minggu terakhir isu calo anggaran kembali merebak. Kasus pembangunan wisma atlet dan calo dana penyesuaian infrastruktur yang melibatkan anggota DPR mengonfirmasi praktik gelap ini sebagai puncak gunung es.
Pemburu rente bekerja dari sisi siklus dan struktur anggaran. Mereka mulai mengendus target buruannya sejak anggaran disusun dan dibahas DPR. Terjadinya asimetris informasi akibat pembahasan anggaran yang tertutup menjadi instrumen mufakat jahat praktik pemburu rente. Dengan kekuasaan fungsi anggarannya DPR dapat menentukan usulan proyek yang diajukan eksekutif dan alokasi ke daerah.
Perselingkuhan aktor politisi Senayan dengan pengusaha dan birokrasi pemegang kuasa anggaran tidak bisa dihindarkan untuk memuluskan praktik para pemburu rente ini. DPR dapat menyetujui anggaran proyek yang diajukan eksekutif dengan catatan proyek tersebut dikerjakan oleh pengusaha yang disodorkannya.
Berbekal informasi anggaran dan akses terhadap kekuasaan, pemburu rente menjajakan alokasi anggaran yang bisa dijadikan ajang bancakan kepada para pengusaha yang berani memberikan imbalan tertentu. Meskipun proyek ditenderkan dengan proses yang terbuka, calon pemenang tender sudah ditetapkan terlebih dahulu. Pada kasus proyek pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, yang jadi penanda incaran pemburu rente anggaran adalah belanja modal atau proyek infrastruktur dengan anggaran yang besar.
Dari sisi struktur anggaran, selain belanja modal, transfer daerah tidak lepas dari sasaran pemburu rente. Dana penguatan infrastruktur daerah (DPID) yang diungkap anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, sudah lama disinyalir sebagai dana aspirasi terselubung dan sasaran pemburu rente. Bahkan dana ini sudah ada sejak APBN Perubahan 2010.
Setidaknya terdapat tiga persoalan mengapa DPID jadi lahan subur calo anggaran. Pertama, DPID merupakan dana liar. Pasalnya, dana ini tidak dikenal sama sekali dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Tidak mengherankan, dana ini menjadi salah satu temuan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2010. Bahkan Fitra bersama Koalisi menjadikan dana ini salah satu yang dipersoalkan dalam uji materi UU APBN Perubahan 2010 ke Mahkamah Konstitusi.
Kedua, peruntukan DPID juga tidak memiliki kriteria yang jelas. Seluruh dana transfer daerah menggunakan formula dan kriteria tertentu yang diatur dalam UU, seperti dana alokasi umum, dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil. Sementara dana ini, meskipun ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, besaran dan daerah yang dapat ditentukan oleh Badan Anggaran DPR. Alhasil, dana ini menjadi tidak tepat sasaran dan merusak sistem desentralisasi fiskal.
Temuan Fitra pada APBN-P 2010, misalnya, daerah kaya yang memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata nasional dengan penduduk miskin yang sedikit memperoleh dana penyesuaian lebih besar dibandingkan dengan daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan penduduk miskin lebih besar. Untuk memperoleh dana ini sangat bergantung seberapa kuat daerah mampu melobi maupun memberikan sejumlah uang kepada badan anggaran ataupun perantara. Informasi yang disampaikan oleh salah satu daerah kepada penulis, mereka harus menyetor dana 5-7 persen untuk memperolehnya.
Ketiga, alokasi dana penyesuaian ini sama dengan DAK. Dari 19 bidang peruntukan DAK, 18 bidang di antaranya sama dengan DPID. Menjadi pertanyaan, mengapa dana ini tidak disatukan saja dengan DAK yang telah memiliki formula dan kriteria lebih jelas? Tidak mengherankan, terdapat daerah yang sudah mendapat jatah DAK besar mendapat kembali DPID untuk bidang yang sama dalam jumlah besar.
Dalam kasus DPID, sudah waktunya dana-dana liar ke daerah yang mulai tidak terkendali—di luar mekanisme dana perimbangan saat ini—segera dihapuskan. Ketiadaan kriteria dana ini tak ubahnya menjadi dana aspirasi terselubung dan dijadikan instrumen politik untuk menarik simpati pemilih.
Meminjam analisis Irene S Rubin dalam buku The Politics of Public Budgeting (1990), aktor politik akan berupaya memperjuangkan agar anggaran dapat melayani kepentingan politik masing-masing. Tradisi politik uang transaksional dan sistem pendukung yang tidak memadai menyebabkan DPR terjebak fungsi anggaran pragmatis untuk mengejar setoran. Dari situasi ini pemburu rente tumbuh subur.
Kasus calo anggaran bukan baru kali ini saja. Isu ini barang lama yang penyelesaiannya tidak pernah tuntas. Kasus Abdul Hadi Djamal dalam pembangunan pelabuhan di kawasan timur Indonesia, misalnya, hanya menumpas lingkaran pelakunya. Namun, akar persoalan sistem yang menyebabkan aktor baru calo anggaran terus bermunculan tidak pernah diberesi.
Pemburu rente anggaran sudah harus diberantas sejak anggaran disusun dan dibahas di DPR. Pembahasan anggaran yang terbuka merupakan conditio sine qua non dapat membelenggu merajalelanya calo anggaran di Senayan. Keberadaan Parliament Budget Office (PBO) sebagai sistem pendukung fungsi anggaran legislatif dapat menjadi instrumen keterbukaan dan mendorong fungsi anggaran yang mampu mengartikulasi aspirasi konstituennya.

Yuna Farhan Sekretaris Jenderal Fitra

Sumber Kompas, 17 Juni 2011

Elit (Gedung) Miring


Entah apa yang ada dipikiran Ketua DPR Marzuki Alie. Masih segar diingatan publik, pernyataannya yang menyakitkan soal Gempa Mentawai. Kembali memberikan pernyataan menyesakkan dada. “Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu” (Kompas, 01/04/2011).

Sebagai elit, seharusnya Marzuki paham. Anggaran yang digunakannya untuk membangun gedung DPR, berasal dari pajak rakyat,. Sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat,  rakyat telah membayar pajak untuk Negara ini.  Pajak merupakan bentuk hubungan antara warga dan Negara. Warga miskin sekali-pun, memiliki andil berkonstribusi pada perekonomian Negara. Tidak lah patut, Ketua DPR  yang justru memperoleh tunjangan pajak penghasilan yang ditanggung Negara, merasa lebih berhak membahas gedung DPR dibandingkan rakyat jelata. Pernyataan,  hanya orang-orang elit dan pintar yang bisa diajak bicara justru tidak mencerminkan pendapat orang pintar atau terpelajar. Meminjan kutipan roman “Bumi Manusia” Pramoedya Ananta Toer; “Seseorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Sebagai Ketua DPR, seharusnya paham prinsip-prinsip keuangan Negara  dan fungsi anggaran seperti diatur pada pasal 3 UU No 17 2003. Diantaranya efisien, ekonomis, serta memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Apakah bisa dikatakan efisien? DPR telah memiliki gedung, namun kurang ruangan. Lantas membangun gedung baru. Bicara efisien artinya dengan masukan seminimal mungkin, menghasilkan keluaran optimal. Tidak ada jaminan DPR saat di gedung lama, setelah pindah ke gedung baru akan meningkat kinerjanya.

Prinsip ekonomis menunjukan alokasi anggaran yang digunakan harus bernilai ekonomi. Pidato Presiden SBY dalam penyampaian nota keuangan APBN 2011, untuk mempercepat  pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan belanja modal, tidak akan ada artinya jika belanja modal diarahkan untuk membangun gedung DPR. Mana yang lebih ekonomis? Anggaran Rp. 1,1 triliyun untuk membangun gedung DPR yang akan dihuni 560 elit atau membangun jalan sepanjang atau membangun 1,100 Km jalan yang menghubungkan jalur distribusi pangan. Membangun infrastruktur jalan adalah prioritas kebutuhan, membangun gedung DPR adalah keinginan.

Anggaran juga memiliki fungsi distribusi yang memiliki arti kebijakan anggaran Negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dimana letak keadilan? Disaat yang sama program-program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM dan BOS berasal dari utang, sementara pajak dari rakyat yang seharusnya  menjadi instrumen pemerataan pendapatan, justru untuk membangun gedung DPR yang hanya dinikmati segelintir elit senayan. Dari sisi kepatutan, apakah patut? Dengan garis kemiskinan Rp. 221 ribu, anggaran gedung baru setara dengan 5,5 juta orang miskin.

Marzuki Alie sepertinya lupa, salah satu sumpah/janji DPR menjalankan kewajiban dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara dari pada kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya. Mungkin Marzuki Alie juga tidak ingat, DPR memiliki tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Sehingga tidak salah, survey bisa dijadikan alat untuk mengukur aspirasi rakyat terhadap pembangunan gedung baru. Meskipun, penolakan publik diberbagai media sudah mencerminkan tidak sejalannya aspirasi masyarakat dengan keinginan pembangunan gedung DPR..

Sedari awal, alasan  pembangunan gedung baru DPR sudah sarat kebohongan. Mulai dari gedung miring, hingga kelebihan kapasitas. Kebohongan lain juga terungkap, bahwa pembangunan gedung baru merupakan rekomendasi tim  kinerja dan telah disetuji DPR periode sebelumnya ternyata tidak ada dalam rekomendasi tim kinerja (Kompas, 01/004/2010).

Dari sisi harga juga tercium aroma tidak sedap. Usulan biaya senilai Rp. 1,8 trilyun, dengan adanya kritik publik, terus mengalami penurunan menjadi Rp. 1,6 trilyun, Rp. 1,3 trilyun dan terakhir Rp.1,1 trilyun. Kecurigaan usulan anggaran di atas biaya sesungguhnya, memperkuat adanya elit-elit yang mencari rente dari proyek mercu suar ini.  Berangkat dari pengalaman  pengadaan Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata yang juga bersifat tahun jamak, proyek gedung DPR juga berpotensi membengkak anggaran dari yang telah direncakanakan.

Penolakan Fraksi

Muncul penolakan beberapa fraksi dan gerakan moral penggalangan tanda tangan lintas fraksi untuk menolak gedung baru patut untuk diapresiasi. namun juga patut dipertanyakan. Mengingat keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) merupakan perwakilan fraksi-fraksi. Tugas BURT pada UU 27 tahun 2009 juga menyatakan kewajiban untuk menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR dan menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR. Jika ini tidak dilakukan, maka fraksi-fraksi yang saat ini menolak dituntut konsitensinya untuk menarik perwakilan anggota fraksinya di BURT dan melaporkannya ke Badan Kehormatan karena tidak menjalankan tugas.

Pasalnya, berangkat dari pengalaman yang sudah-sudah, penolakan atau penundaan hanya untuk mencari popularatias politik, atau sekedar cari selamat ditengah kritik publik. Namun setelah kritik publik mereda atau dialihkan dengan isu lain,  usulan kembali dilakukan secara diam-diam, seperti menyelubungi  dana aspirasi, dengan  bentuk Dana Penguatan Infrastuktur Daerah (DPID).

Kalau memang penolakan ini serius, DPR harus segera menghapuskan anggaran gedung baru dari Setjen DPR pada APBN-Perubahan. Perbaikan lebih strategis ke depan juga perlu dilakukan dalam memperbaiki mekanisme perencanaan anggaran di tubuh BURT.  DPR yang mulai mengalami krisis legitimasi, dapat merebut kembali hati rakyat, jika berani membuka rencana anggaran yang disusun BURT termasuk rencana studi banding untuk diuji dan diberikan penilaian oleh publik.

Sebagai kader demokrat, yang notabene partainya Presiden yang berkuasa, Marzuki Alie seharusnya malu. Presiden mengeluarkan Inpres No 7 tahun 2011 tentang penghematan belanja Kementerian/Lembaga tahun 2011, sementara kadernya memimpin DPR dan memiliki fungsi anggaran sesuai amanat konstitusi justru tidak menjadi lokomotif dalam penghematan anggaran. Jika praktek aji mumpung, penghamburan uang Negara terus berlangsung, DPR akan  mengalami posisi tawar lemah dan kemandulan fungsi anggaran dalam mengkritisi proposal anggaran pemerintah.

Cukup sudah, komentar miring dari masinis gedung miring. Sepatutnya Marzuki Alie merenungkan kutipan cerpen “robohnya surau kami” karya A.A Navis (2002): “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri, Kau takut masuk neraka, tapi kau lupakan kehiduan kaummu sendiri.  Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun”. 


Yuna Farhan
Sekretaris Jenderal
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/05444082/elite.gedung.miring
Sumber: Kompas
Tanggal: 05 Apr 11