Thursday, August 30, 2012

Transfer Anggaran (Birokrasi) Daerah

Kompas (24/08) hal 17 mengangkat berita soal efisiensi dana transfer yang meningkat pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013, dengan alokasi mencapai Rp 518,9 triliun atau 31,3% dari total belanja. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan, transfer daerah masih banyak tersedot untuk belanja pegawai.

Berdasarkan data FITRA, pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai,  jumlahnya meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah  diantaranya menganggarkan belanja pegawainya di atas 70%. Dengan postur anggaran seperti ini, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah  telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.

Fakta ini tidak secara serta merta ditujukan karena buruknya tata kelola anggaran di daerah. Kelemahan pada sistem  desentralisasi fiskal dan tidak konsitennya Pemerintah Pusat memberikan  kontribusi terhadap potret anggaran daerah yang lebih banyak dialokasikan untuk "ongkos tukang" dibandingkan pelayanan publik.

Seperti diketahui, rata-rata daerah menggantungkan 80% pendapatan  daerahnya terhadap  dana transfer dari APBN, sementara  sebagian besar transfer daerah sudah dalam bentuk  belanja pegawai. Dengan memperhitungkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar pada Dana Alokasi Umum (DAU), otomatis daerah tidak ambil pusing untuk membiayai atau merekrut baru pegawainya. Formula  DAU "me-nina bobokan" daerah  untuk terus merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. Formula DAU justru memberikan insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai dan disinsentif bagi daerah yang efisien belanja pegawainya, karena tidak ingin jatah DAU-nya akan berkurang. 

Dalam RAPBN 2013, sebagian besar transfer daerah dialokasikan untuk belanja pegawai,  dalam bentuk DAU  Rp 306,2 triliun (59%), tunjangan profesi guru Rp 43,1 triliun (8%) dan tambahan penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1%). Praktis, sulit mengharapkan daerah untuk mengalokasikan lebih besar  anggarannya untuk belanja modal atau pelayanan publik.

Hampir setiap tahun, dalam penyampaian  pidato nota keuangan pemerintah selalu mengklaim, terus meningkatkan dana transfer daerah. Meski kenyataannya, dari tahun ke tahun proporsi dana transfer daerah tidak bergerak jauh dikisaran 31% dari total belanja negara. Secara nilai riil, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,8% dan inflasi 4,9%, pertumbuhan transfer daerah sebesar 8,4% tidak berarti penambahan yang signifikan.

Berdasarkan prinsip money follow function, transfer daerah justru berbanding terbalik dengan urusan yang didesentralisasikan. sebanyak 31 urusan pemerintah atau 70% urusan pemerintah di serahkan ke daerah, sementara dari segi proporsi anggaran yang ditransfer dikisaran 30%.

Pemerintah juga tidak konsisten untuk mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang telah menjadi urusan daerah. Pasal 108 ketentuan peralihan pada UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, secara tegas menyatakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Namun, ketentuan ini tidak sungguh-sungguh dilaksanakan. Dari segi mandat hukum, PP dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, baru dikeluarkan empat tahun kemudian melalui PP No 7 tahun 2008. Itupun, dalam PP ini masih dinyatakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialihkan secara bertahap. Berdasarkan kajian FITRA (2011), tidak terlihat sama sekali dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialihkan menjadi DAK. Trend kedua alokasi ini cenderung naik setiap tahunnya.
Pemerintah Pusat juga tidak fair dalam menggunakan rumus formula DAU, sehingga terjadi selisih kekurangan DAU yang seharusnya menjadi hak daerah. Merujuk pada pasal 27 UU No 33 tahun 2004, jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Perdapatan Dalam Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dinyatakan PDN Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari Pajak dan Bukan Pajak setelah dikurangi dengan penerimaan Negara yang dibagi hasilkan kepada daerah atau Dana Bagi Hasil. Pada prakteknya, alokasi DAU sejak tahun 2008 selalu lebih kecil dari ketentuan ini. Hal ini terjadi karena, faktor pengurang PDN Neto selalu bertambah, tidak hanya dana bagi hasil, melainkan juga subsidi dan pendapatan yang bersifat earmark.  
Pada RAPBN 2013 misalnya, pemerintah menambah komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian/Lembaga yang akan digunakan kembali, subsidi pajak dan 60% subsidi lainnya, sebagai faktor pengurang dalam menetapkan PDN netto, dengan alokasi DAU menjadi Rp 306,2 triliun (Nota Keuangan RAPBN 2013, p.308). Padahal, jika pemerintah konsisten menggunakan formula DAU sesuai dengan UU Perimbangan Keuangan, maka DAU yang seharusnya dialokasikan pada RAPBN 2013 sebesar Rp 390,8 triliun atau terdapat selisih Rp 84,6 triliun dari DAU yang dialokasikan pada RAPBN 2013. Pemerintah Daerah atau DPR seharusnya bisa mendesak Pemerintah untuk meningkatkan alokasi DAU sesuai dengan rumusan yang diatur UU.
Tidak selayaknya, Pemerintah Pusat melempar kesalahan pada daerah semata, atas terjadinya inefisiensi dan inefektivitas transfer daerah, dan merasa terus berkomitmen meningkatkan desentralisasi fiskal, tanpa disertai perubahan disain desentralisasi fiskal yang dibuatnya sendiri  dan konsisten menerapkan kebijakannya.

Yuna Farhan
Sekjen FITRA


Kompas, 28 Agustus 2012