Saturday, March 01, 2014

Korupsi Dana Optimalisasi


Yuna Farhan  ;  Sekretaris Jenderal Fitra;
Salah satu pemohon judicial review UU Keuangan Negara
MEDIA INDONESIA,  20 November 2013

PIDATO pengantar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet berkaitan APBN 2014 (Media Indonesia, 15/11), menyatakan keraguannya atas transparansi dan akuntabilitas dana optimalisasi hasil pembahasan RAPBN 2014 sebesar Rp24 trilyun. Jika ditelusuri lebih jauh, pada dasarnya tidak ada satu pun nomenklatur dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara jelas definisi dana optimalisasi. Istilah itu muncul dari kalangan legislatif, dengan dana tersebut diperoleh dari optimalisasi pembahasan proposal anggaran yang diajukan eksekutif, baik dari efisiensi belanja maupun peningkatan target pendapatan. Benar, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjamin fungsi anggaran DPR, bahwa DPR dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN, sepanjang tidak melebihi batas defisit.

Persoalan yang muncul kemudian, dana optimalisasi itu tidak memiliki pengaturan peruntukan alokasinya dan baru diputuskan menjelang akhir pembahasan ang garan oleh Banggar DPR. Di situlah titik rawan penyalahgunaan anggaran itu mulai terjadi. DPR bukanlah institusi perencana yang mampu dan memiliki kapasitas menentukan alokasi anggaran program dan kegiatan sehingga tidak mengherankan pengaloka sian dana optimalisasi itu dilakukan secara serampangan untuk sekadar memburu rente, dengan modus menjajakan dana optimalisasi kepada kementerian/lembaga yang ingin mendapatkan tambahan anggaran ataupun membuat mata anggaran baru.

Optimalisasi korupsi

Pada 2010 misalnya, karena tidak memiliki dasar pengalokasian, Badan Anggaran DPR akhirnya memberikan jatah Rp100 miliar pada setiap komisi untuk membahas tambahan anggaran dana optimalisasi dengan mitra komisi masingmasing. Kasus-kasus korupsi terkini juga mengonfirmasikan dana optimalisasi menjadi ajang korupsi. Seperti kasus korupsi Alquran yang memperoleh tambahan dana optimalisasi dari anggaran Rp2,1 miliar menjadi Rp22,8 miliar pada APBN-P 2011. Terakhir anggaran Hambalang yang berturut-turut menerima tambahan dana optimalisasi dari APBN 2010 hingga 2012.

Tidak hanya membuka ruang bancakan anggaran, pengalokasian dana optimalisasi itu juga tidak akan efektif karena tidak direncanakan dengan benar dalam waktu yang relatif singkat atau kurang dari sebulan setelah anggaran dirapatparipurnakan. Padahal seluruh, program dan kegiatan yang dianggarkan eksekutif telah direncanakan melalui mekanisme musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) sejak April.

Lalu bagaimana mungkin, tambah an dana optimalisasi Rp24 triliun dapat direncanakan dalam waktu singkat mampu menghasilkan kegiatan yang efektif dan bermanfaat untuk rakyat. Kementerian PU misalnya, yang mendapatkan tambahan anggaran hingga Rp7 triliun, apakah secara tiba-tiba dapat merencanakan kegiatan, dengan ujung-ujungnya pengalokasian dana itu sekadar untuk menghabiskan atau menyerap anggaran, tanpa memikirkan efektivitasnya.

Ketidaktersediaan waktu untuk membahas peruntukan dana optimalisasi, pada ujung pembahasan anggaran, pada akhirnya hanya menjadikan sidang paripurna penetapan APBN sekadar formalitas. Padahal, jika mengacu aturan yang ada, Sidang Paripurna DPR menetapkan APBN terinci sampai dengan jenis, program, dan kegiatan. Namun, pada praktiknya, berdasarkan hasil pemantauan Fitra, sampai saat ini masih berlangsung pembahasan anggaran yang berasal dari dana optimalisasi pada tingkat komisi dengan mitra kerjanya yang umumnya berlangsung tertutup.

Strategi lain ialah memberikan tanda bintang atau blokir anggaran, dengan catatan bahwa rincian anggaran belum selesai dibahas. Berdasarkan catatan Fitra, pemberian tanda bintang itu pun terus meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp63,4 triliun pada APBN 2011, Rp78,5 triliun pada APBN 2012, dan terus membengkak menjadi Rp163,5 triliun pada APBN 2013.

Pemblokiran anggaran itu juga menjadi ajang `penggiringan proyek' kepada pihak tertentu. Kementerian/lembaga yang menginginkan tanda bintang dicabut tentunya harus melakukan lobi-lobi tertutup dengan imbalan atau kesepakatan tertentu, seperti mengharuskan menggunakan kontraktor tertentu untuk menangani proyek di kementerian tersebut. Pencabutan tanda bintang pada mata anggaran, juga terkadang hanya membutuhkan persetujuan pimpinan komisi ataupun anggota banggar di komisi tersebut, sebagaimana terjadi dalam kasus korupsi Hambalang.

Dengan mengingat biaya politik tinggi menjelang Pemilu 2014, bukan tidak mungkin dana optimalisasi ini tidak hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi juga sebagai motif untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999).

Sepanjang diskresi dana optimalisasi itu diserahkan politisi, tidak mengherankan kasus-kasus korupsi baru pembobolan APBN akan terus berlangsung. Beberapa kelompok masyarakat sipil, termasuk Fitra telah mengajukan judicial review UU Keuangan Negara khususnya mengenai persoalan fungsi anggaran terkait dengan dana optimalisasi itu. Namun, sampai kini MK belum memutuskan.

Ke depan dana optimalisasi perlu dibatasi pengalokasiannya. Misalnya, hanya digunakan untuk mengurangi defisit, kegiatan yang direncanakan dalam rencana kerja pemerintah (RKP) dan tidak boleh dialokasikan untuk kegiatan atau proyek baru atau menambah anggaran kegiatan tertentu. ●