Korupsi di negara kita berada pada titik peradaban yang dianggap sebagai kewajaran sosial. Mulai dari lembaga Yudisial yang paling tinggi MA, praktek percaloan di legislatif, lembaga penyelenggara Pemilu KPU, sampai ketingkat RT saat pelaksanaan BLT (bantuan langsung tunai), praktek korupsi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Praktek korupsi memang sudah terjadi sejak zaman purba. Bahkan korupsi sama tuanya dengan praktek pelacuran, seumuran peradaban manusia. Bisa dikatakan, korupsi ada sejak masyarakat ada. Sejak dan sepanjang kekuasaan melekat pada individu tertentu, besar ataupun kecil, korupsi akan cenderung terjadi, seperti kata Lord Acton; “power tends to corrupt”.
Terdapat beberapa premis yang bisa diajukan, dalam menjelaskan terjadinya korupsi dalam peradaban manusia. Pertama, terjadinya praktek korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang dan melibatkan unsur kekuasaan. principle of least interest yang dikemukakan George C Homans (1974) menjelaskan hal ini. Orang yang memiliki kepentingan paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Praktek penyuapan yang terjadi di lingkungan peradilan, karena peradilan memiliki kepentingan paling sedikit terhadap dampak putusan yang di keluarkannya. Sementara, sang terdakwa memiliki kepentingan yang besar terhadap putusan tersebut, akan rela melakukan suap seberapapun besarnya. Sepanjang individu memiliki kekuasaan, maka individu ini memliki kepentingan yang sedikit terhadap keberlangsungan situasi social.
Kedua, Korupsi merupakan suatu anomie, keadaan tanpa norma, social disorder. Robert K Merton mengidentifikasi anomie akibat ketidaksesuaian antara tujuan kultural dengan sarana kelembagaan yang sah untuk mencapainya. Manusia sebagai homo economicus berorientasi pada meraih keuntungan sebesar-sebesar-besarnya. Orientasi sukses atau tujuan kultural masyarakat Inonesia saat ini diukur dari akumulasi kekayaan yang dimilikinya. Sementara , sarana kelembagaan yang sah, seperti pekerjaan dengan gaji atau penghasilan yang besar tidak tersedia untuk semua orang. Demi mencapai tujuan kultural ini, korupsi dianggap sebagai katup penyelamat.
Ketiga, Proposisi sukses dan stimulus Homans, menjelaskan; semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka makin kerap ia akan melakukan tindakannya itu dan menjadi stimulus untuk dilakukan kembali di masa yang akan datang. Praktek suap-menyuap yang terjadi, akan terulang secara terus menerus, akibat ganjaran yang diperolehnya, secara lama-kelamaan menjadi patern behavior, perilaku korup yang berpola. Dan selanjutnya menjadi patern interaction, interaksi korup yang berpola. Pada akhirnya, pola interaksi korup ini menjadi social order yang berlaku di masyarakat, walaupun pada kenyataannya bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Artinya, praktek korup menjadi suatu yang “lazim” dalam pola interaksi masyarakat.
Keempat, memperkuat premis yang ketiga, korupsi merupakan realitas yang terbentuk secara sosial (The Social Construction of Reality). Seperti dinyatakan Peter Berger (1966), realitas yang dikonstruksikan secara sosial merupakan proses obyektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan kata lain, korupsi merupakan struktur social yang obyektif, berasal dari interaksi manusia sebelumnya melalui proses eksternalisasi. Kemudian, dinternalisasi ke dalam makna subyektif individu dan di eksternalisasi kembali menjadi realitas social obyektif. Artinya, korupsi dipandang sebagai produk masyarakat yang membentuk manusia dan sebaliknya manusia yang membentuk masyarakat korup. Ditambahkan oleh Merton, terjadinya perilaku menyimpang, akibat tekanan struktur social yang berlaku. Struktur social yang korup, pada akhirnya menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan social yang berlaku sebelumnya. Masyarakat yang tidak berperilaku korup pada akhirnya akan terlempar dari kelompoknya yang korup. Mau tidak mau, masyarakat dipaksa untuk kompromi dengan praktek korup yang terjadi di dalam kelompoknya.
Korupsi Positif Vs Negatif
Dari keempat premis yang diajukan di atas, tidak serta merta menjadi justifikasi korupsi sebagai praktek “lazim” atau kewajaran social dalam peradaban manusia. Banyak pakar yang menyatakan Fungsi positif korupsi, seperti sebagai jalan pintas menembus birokrasi yang berbelit atau bottle neck birokrasi, sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dengan pengalihan dana negara ke pihak swasta,. Pernyataan-pernyataan yang bersifat menyesatkan ini perlu dilihat lebih proporsional.
Merton memperkenalkan konsep disfungsi dan fungsi positif dalam menjelaskan perilaku social. Perilaku korup memiliki dimensi disfungsi (fungsi negative) dan fungsi positif. Oleh karenanya, perilaku korup seharusnya mempergunakan criteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences). Perlu menimbang fungsi positif relative korupsi terhadap fungsi negative.
Korupsi jelas-jelas lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Berbagai fungsi negative korupsi, secara common sense telah banyak diidentifikasi. Korupsi merugikan keuangan Negara, dapat menyengsarakan rakyat yang seharusnya menikmati anggaran pembangunan, menguntungkan kepentingan pribadi, menyalahgunakan amanat, merusak system demokrasi dan mungkin masih banyak lagi.
Secara manifest, ada benarnya, fungsi positif korupsi untuk memecah jalan buntu birokrasi yang tidak efisien. Tetapi, dibaliknya mengandung fungsi laten yang bersifat disfungsional (negative). Karena korupsi yang terjadi akan merangsang perkembangan lebih lanjut untuk korupsi yang lebih besar. Pakar sosiologi korupsi S. Hussein Alatas, menyatakan fungsi positif korupsi sebagai jalan keluar birokrasi yang tidak efisien, adalah tidak benar. Korupsi yang meluas disebabkan karena kehadiran korupsi yang lebih dahulu dan menjadi penyebab adanya kondisi itu. Sejalan dengan premis keempat, seperti dikemukakan Berger. Pada akhirnya, korupsi merupakan The Social Construction of Reality.
Korupsi berdampak positif pada bisnis swasta, bisa jadi. Namun, perlu diingat, akumulasi modal yang dikumpulkan oleh pihak swasta dapat dipastikan akan merugikan keuangan negara dan rakyat. Sudah menjadi hukum alam, ada yang diuntungkan, pasti ada yang dirugikan. Kita sepakat, Korupsi merupakan extraordinary crime yang lebih banyak disfungsionalnya ketimbang fungsi positifnya.
Pahlawan Koruptor
Akhir-akhir ini untuk banyak koruptor yang mengukir prestasi, dengan jalan bakti social atau tugas pengabdian untuk membayar sebagian atau seluruh kerugian karena korupsi yang dilakukannya. Hasil-hasil kerja pengabdian para koruptor ini, pada akhirnya akan menimbulkan respek, rasa terimakasih bahkan dianggap bisa menjadi hero.Bahkan para konglomerat hitam yang terjerat BLBI, jika kooperatif mau mengembalikan uang Negara dianggap sebagai Pahlawan dan bebas dari segala jeratan hokum.
Dapat diramalkan, jika ini yang diterapkan sebagai hukuman para koruptor, tak ayal lagi, akan banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi koruptor. Toh, setelah meraup keuntungan besar, mendapat hukuman, pada akhirnya koruptor akan mendapatkan respek dan menjadi pahlawa. Jangan heran, jika koruptor diberi hukuman untuk mengukir prestasi, dalam waktu dekat, prestasi korupsi negara kita akan segera menduduki peringkat teratas negara terkorup.
.
“Lalu, apakah kita harus menaruh respek dan berkompromi, dengan para koruptor? Pascal Couchepin, mencoba menjawabnya. Presiden Konfederasi Swiss tahun 2003, sebagai negara yang dikenal tanpa korupsi, memberikan tips; “Jangan pernah kompromi menghadapi korupsi, berupayalah untuk tidak menaruh respek kepada mereka yang korupsi”. Oleh karenanya, “keterlibatan rakyat dan juga kebencian yang diperlihatkan warga masyarakat pada yang korup, membuat siapa saja takut dan segan untuk melakukan korupsi”.
Membangun Peradaban Anti Korupsi
Korupsi sebagai bagian peradaban manusia, tidak lantas membuat kita mengamini dan berpangku tangan saja. Berangkat dari empat premis sebelumnya, yang perlu dibangun, justru peradaban anti korupsi sebagai realiatas yang dikonstruksikan secara sosial. Pertama, Mulai dengan proses membangun realitas sosial korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial. Menerapkan apa yang dikemukakan Berger, suatu realitas obyektif memerlukan legitimasi atau cara pembenarannya. Sejauh ini, negara kita telah melakukannya. Legitimasi terhadap realitas sosial korupsi dilakukan oleh negara melalui berbagai perangkat kebijakan.
Kedua, membangun internalisasi perilaku korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial. Proses ini yang belum dimulai bangsa kita. Nilai-nilai anti korupsi diinternalisir melalui sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal dilingkungan keluarga kepada anak-anak, sekolah, lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainnya.
Ketiga, proses eksternalisasi peradaban anti korupsi akan terbangun dengan sendirinya. Proses internalisasi kepada anak-anak tidak pernah diterima lengkap sepenuhnya. Sang anak, ketika dewasa, akan mengeksternalisasi kembali nilai-nilai anti korupsi dalam masyarakat hingga akhirnya menjadi realitas sosial obyektif peradaban anti korupsi. Sanksi sosial mempermalukan koruptor ditengah-tengah masyarakat perlu dialkukan untuk mendukung hal ini.
Dua pilihan lain yang cukup sulit dalam membangun peradaban anti korupsi, adalah merubah tujuan kultural masyarakat kita yang diukur dengan sukses materi dan atau menyediakan sarana kelembagaan yang sah. Pilihan pertama, merubah tujuan kultural, paling mungkin bisa dilakukan oleh agama, seperti dengan tujuan kehidupan setelah mati atau need for achievement dalam konteks di luar materi.
Sudah pasti, membangun peradaban adalah memakan proses panjang. Tetapi, jika kita tidak ingin ingin dicap sebagai negara yang memiliki prestasi dalam korupsi, segera mulailah dari yang paling sederhana. Tanamkan, dalam keluarga kita nilai-nilai anti korupsi sebagai perbuatan terhina. Jauhkan dan kucilkan, sanak keluarga kita, kerabat, apabila mereka melakukan korupsi.
Terdapat beberapa premis yang bisa diajukan, dalam menjelaskan terjadinya korupsi dalam peradaban manusia. Pertama, terjadinya praktek korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang dan melibatkan unsur kekuasaan. principle of least interest yang dikemukakan George C Homans (1974) menjelaskan hal ini. Orang yang memiliki kepentingan paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Praktek penyuapan yang terjadi di lingkungan peradilan, karena peradilan memiliki kepentingan paling sedikit terhadap dampak putusan yang di keluarkannya. Sementara, sang terdakwa memiliki kepentingan yang besar terhadap putusan tersebut, akan rela melakukan suap seberapapun besarnya. Sepanjang individu memiliki kekuasaan, maka individu ini memliki kepentingan yang sedikit terhadap keberlangsungan situasi social.
Kedua, Korupsi merupakan suatu anomie, keadaan tanpa norma, social disorder. Robert K Merton mengidentifikasi anomie akibat ketidaksesuaian antara tujuan kultural dengan sarana kelembagaan yang sah untuk mencapainya. Manusia sebagai homo economicus berorientasi pada meraih keuntungan sebesar-sebesar-besarnya. Orientasi sukses atau tujuan kultural masyarakat Inonesia saat ini diukur dari akumulasi kekayaan yang dimilikinya. Sementara , sarana kelembagaan yang sah, seperti pekerjaan dengan gaji atau penghasilan yang besar tidak tersedia untuk semua orang. Demi mencapai tujuan kultural ini, korupsi dianggap sebagai katup penyelamat.
Ketiga, Proposisi sukses dan stimulus Homans, menjelaskan; semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka makin kerap ia akan melakukan tindakannya itu dan menjadi stimulus untuk dilakukan kembali di masa yang akan datang. Praktek suap-menyuap yang terjadi, akan terulang secara terus menerus, akibat ganjaran yang diperolehnya, secara lama-kelamaan menjadi patern behavior, perilaku korup yang berpola. Dan selanjutnya menjadi patern interaction, interaksi korup yang berpola. Pada akhirnya, pola interaksi korup ini menjadi social order yang berlaku di masyarakat, walaupun pada kenyataannya bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Artinya, praktek korup menjadi suatu yang “lazim” dalam pola interaksi masyarakat.
Keempat, memperkuat premis yang ketiga, korupsi merupakan realitas yang terbentuk secara sosial (The Social Construction of Reality). Seperti dinyatakan Peter Berger (1966), realitas yang dikonstruksikan secara sosial merupakan proses obyektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan kata lain, korupsi merupakan struktur social yang obyektif, berasal dari interaksi manusia sebelumnya melalui proses eksternalisasi. Kemudian, dinternalisasi ke dalam makna subyektif individu dan di eksternalisasi kembali menjadi realitas social obyektif. Artinya, korupsi dipandang sebagai produk masyarakat yang membentuk manusia dan sebaliknya manusia yang membentuk masyarakat korup. Ditambahkan oleh Merton, terjadinya perilaku menyimpang, akibat tekanan struktur social yang berlaku. Struktur social yang korup, pada akhirnya menciptakan keadaan yang menghasilkan pelanggaran terhadap aturan social yang berlaku sebelumnya. Masyarakat yang tidak berperilaku korup pada akhirnya akan terlempar dari kelompoknya yang korup. Mau tidak mau, masyarakat dipaksa untuk kompromi dengan praktek korup yang terjadi di dalam kelompoknya.
Korupsi Positif Vs Negatif
Dari keempat premis yang diajukan di atas, tidak serta merta menjadi justifikasi korupsi sebagai praktek “lazim” atau kewajaran social dalam peradaban manusia. Banyak pakar yang menyatakan Fungsi positif korupsi, seperti sebagai jalan pintas menembus birokrasi yang berbelit atau bottle neck birokrasi, sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dengan pengalihan dana negara ke pihak swasta,. Pernyataan-pernyataan yang bersifat menyesatkan ini perlu dilihat lebih proporsional.
Merton memperkenalkan konsep disfungsi dan fungsi positif dalam menjelaskan perilaku social. Perilaku korup memiliki dimensi disfungsi (fungsi negative) dan fungsi positif. Oleh karenanya, perilaku korup seharusnya mempergunakan criteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences). Perlu menimbang fungsi positif relative korupsi terhadap fungsi negative.
Korupsi jelas-jelas lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Berbagai fungsi negative korupsi, secara common sense telah banyak diidentifikasi. Korupsi merugikan keuangan Negara, dapat menyengsarakan rakyat yang seharusnya menikmati anggaran pembangunan, menguntungkan kepentingan pribadi, menyalahgunakan amanat, merusak system demokrasi dan mungkin masih banyak lagi.
Secara manifest, ada benarnya, fungsi positif korupsi untuk memecah jalan buntu birokrasi yang tidak efisien. Tetapi, dibaliknya mengandung fungsi laten yang bersifat disfungsional (negative). Karena korupsi yang terjadi akan merangsang perkembangan lebih lanjut untuk korupsi yang lebih besar. Pakar sosiologi korupsi S. Hussein Alatas, menyatakan fungsi positif korupsi sebagai jalan keluar birokrasi yang tidak efisien, adalah tidak benar. Korupsi yang meluas disebabkan karena kehadiran korupsi yang lebih dahulu dan menjadi penyebab adanya kondisi itu. Sejalan dengan premis keempat, seperti dikemukakan Berger. Pada akhirnya, korupsi merupakan The Social Construction of Reality.
Korupsi berdampak positif pada bisnis swasta, bisa jadi. Namun, perlu diingat, akumulasi modal yang dikumpulkan oleh pihak swasta dapat dipastikan akan merugikan keuangan negara dan rakyat. Sudah menjadi hukum alam, ada yang diuntungkan, pasti ada yang dirugikan. Kita sepakat, Korupsi merupakan extraordinary crime yang lebih banyak disfungsionalnya ketimbang fungsi positifnya.
Pahlawan Koruptor
Akhir-akhir ini untuk banyak koruptor yang mengukir prestasi, dengan jalan bakti social atau tugas pengabdian untuk membayar sebagian atau seluruh kerugian karena korupsi yang dilakukannya. Hasil-hasil kerja pengabdian para koruptor ini, pada akhirnya akan menimbulkan respek, rasa terimakasih bahkan dianggap bisa menjadi hero.Bahkan para konglomerat hitam yang terjerat BLBI, jika kooperatif mau mengembalikan uang Negara dianggap sebagai Pahlawan dan bebas dari segala jeratan hokum.
Dapat diramalkan, jika ini yang diterapkan sebagai hukuman para koruptor, tak ayal lagi, akan banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi koruptor. Toh, setelah meraup keuntungan besar, mendapat hukuman, pada akhirnya koruptor akan mendapatkan respek dan menjadi pahlawa. Jangan heran, jika koruptor diberi hukuman untuk mengukir prestasi, dalam waktu dekat, prestasi korupsi negara kita akan segera menduduki peringkat teratas negara terkorup.
.
“Lalu, apakah kita harus menaruh respek dan berkompromi, dengan para koruptor? Pascal Couchepin, mencoba menjawabnya. Presiden Konfederasi Swiss tahun 2003, sebagai negara yang dikenal tanpa korupsi, memberikan tips; “Jangan pernah kompromi menghadapi korupsi, berupayalah untuk tidak menaruh respek kepada mereka yang korupsi”. Oleh karenanya, “keterlibatan rakyat dan juga kebencian yang diperlihatkan warga masyarakat pada yang korup, membuat siapa saja takut dan segan untuk melakukan korupsi”.
Membangun Peradaban Anti Korupsi
Korupsi sebagai bagian peradaban manusia, tidak lantas membuat kita mengamini dan berpangku tangan saja. Berangkat dari empat premis sebelumnya, yang perlu dibangun, justru peradaban anti korupsi sebagai realiatas yang dikonstruksikan secara sosial. Pertama, Mulai dengan proses membangun realitas sosial korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial. Menerapkan apa yang dikemukakan Berger, suatu realitas obyektif memerlukan legitimasi atau cara pembenarannya. Sejauh ini, negara kita telah melakukannya. Legitimasi terhadap realitas sosial korupsi dilakukan oleh negara melalui berbagai perangkat kebijakan.
Kedua, membangun internalisasi perilaku korupsi sebagai bentuk penyimpangan sosial. Proses ini yang belum dimulai bangsa kita. Nilai-nilai anti korupsi diinternalisir melalui sosialisasi primer sebagai sosialisasi awal dilingkungan keluarga kepada anak-anak, sekolah, lembaga keagamaan dan lembaga sosial lainnya.
Ketiga, proses eksternalisasi peradaban anti korupsi akan terbangun dengan sendirinya. Proses internalisasi kepada anak-anak tidak pernah diterima lengkap sepenuhnya. Sang anak, ketika dewasa, akan mengeksternalisasi kembali nilai-nilai anti korupsi dalam masyarakat hingga akhirnya menjadi realitas sosial obyektif peradaban anti korupsi. Sanksi sosial mempermalukan koruptor ditengah-tengah masyarakat perlu dialkukan untuk mendukung hal ini.
Dua pilihan lain yang cukup sulit dalam membangun peradaban anti korupsi, adalah merubah tujuan kultural masyarakat kita yang diukur dengan sukses materi dan atau menyediakan sarana kelembagaan yang sah. Pilihan pertama, merubah tujuan kultural, paling mungkin bisa dilakukan oleh agama, seperti dengan tujuan kehidupan setelah mati atau need for achievement dalam konteks di luar materi.
Sudah pasti, membangun peradaban adalah memakan proses panjang. Tetapi, jika kita tidak ingin ingin dicap sebagai negara yang memiliki prestasi dalam korupsi, segera mulailah dari yang paling sederhana. Tanamkan, dalam keluarga kita nilai-nilai anti korupsi sebagai perbuatan terhina. Jauhkan dan kucilkan, sanak keluarga kita, kerabat, apabila mereka melakukan korupsi.
1 comment:
hal pertama yg saya ingin coba melihat lebih dekat adalah adalah premis-premis yg anda kemukakan,sebenarnya titik awal anda melihat korupsi ini mulai dari mana? dengan begitu banyak kutipan yg anda gunakan sebenarnya apa sebenarnya yg ingin anda jelaskan? itu yg blm jelas bagi saya. (hehe terlalu serius ya bos)
pada dasarnya saya sepakat bahwa power tends to corrupt, but cikal-bakal korupsi yang anda bidik ini mengacu kemana sebuah perilaku-kah atau berasal dari suatu sistem? atau memang kedua-duanya itu saling terkait?
Post a Comment