Kompas
(24/08) hal 17 mengangkat berita soal efisiensi dana transfer yang meningkat
pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013, dengan alokasi
mencapai Rp 518,9 triliun atau 31,3% dari total belanja. Menteri Koordinator
Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan, transfer daerah masih banyak tersedot
untuk belanja pegawai.
Berdasarkan data FITRA, pada tahun 2011
terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja
pegawai, jumlahnya meningkat menjadi 302
daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah
diantaranya menganggarkan belanja pegawainya di atas 70%. Dengan postur anggaran seperti ini, tujuan otonomi
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan
pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Fakta ini
tidak secara serta merta ditujukan karena buruknya tata kelola anggaran di
daerah. Kelemahan pada sistem
desentralisasi fiskal dan tidak konsitennya Pemerintah Pusat
memberikan kontribusi terhadap potret
anggaran daerah yang lebih banyak dialokasikan untuk "ongkos tukang"
dibandingkan pelayanan publik.
Seperti
diketahui, rata-rata daerah menggantungkan 80% pendapatan daerahnya terhadap dana transfer dari APBN, sementara sebagian besar transfer daerah sudah dalam
bentuk belanja pegawai. Dengan
memperhitungkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar pada Dana
Alokasi Umum (DAU), otomatis daerah tidak ambil pusing untuk membiayai atau
merekrut baru pegawainya. Formula DAU
"me-nina bobokan" daerah untuk
terus merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. Formula DAU justru memberikan
insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai dan disinsentif bagi daerah
yang efisien belanja pegawainya, karena tidak ingin jatah DAU-nya akan
berkurang.
Dalam RAPBN
2013, sebagian besar transfer daerah dialokasikan untuk belanja pegawai, dalam bentuk DAU Rp 306,2 triliun (59%), tunjangan profesi
guru Rp 43,1 triliun (8%) dan tambahan penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1%).
Praktis, sulit mengharapkan daerah untuk mengalokasikan lebih besar anggarannya untuk belanja modal atau
pelayanan publik.
Hampir
setiap tahun, dalam penyampaian pidato
nota keuangan pemerintah selalu mengklaim, terus meningkatkan dana transfer
daerah. Meski kenyataannya, dari tahun ke tahun proporsi dana transfer daerah
tidak bergerak jauh dikisaran 31% dari total belanja negara. Secara nilai riil,
dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,8% dan inflasi 4,9%, pertumbuhan transfer
daerah sebesar 8,4% tidak berarti penambahan yang signifikan.
Berdasarkan
prinsip money follow function, transfer
daerah justru berbanding terbalik dengan urusan yang didesentralisasikan.
sebanyak 31 urusan pemerintah atau 70% urusan pemerintah di serahkan ke daerah,
sementara dari segi proporsi anggaran yang ditransfer dikisaran 30%.
Pemerintah
juga tidak konsisten untuk mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang telah menjadi urusan daerah. Pasal 108 ketentuan
peralihan pada UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah,
secara tegas menyatakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara bertahap
dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan diatur lebih lanjut dalam
bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Namun, ketentuan ini tidak sungguh-sungguh
dilaksanakan. Dari segi mandat hukum, PP dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, baru dikeluarkan empat tahun kemudian melalui PP No 7 tahun 2008.
Itupun, dalam PP ini masih dinyatakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
dialihkan secara bertahap. Berdasarkan kajian FITRA (2011), tidak terlihat sama
sekali dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialihkan menjadi DAK. Trend
kedua alokasi ini cenderung naik setiap tahunnya.
Pemerintah
Pusat juga tidak fair dalam
menggunakan rumus formula DAU, sehingga terjadi selisih kekurangan DAU yang
seharusnya menjadi hak daerah. Merujuk pada pasal 27 UU No 33 tahun 2004,
jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Perdapatan Dalam
Negeri (PDN) Neto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya dalam penjelasan
pasal ini dinyatakan PDN Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari Pajak
dan Bukan Pajak setelah dikurangi dengan penerimaan Negara yang dibagi hasilkan
kepada daerah atau Dana Bagi Hasil. Pada prakteknya, alokasi DAU sejak tahun
2008 selalu lebih kecil dari ketentuan ini. Hal ini terjadi karena, faktor
pengurang PDN Neto selalu bertambah, tidak hanya dana bagi hasil, melainkan
juga subsidi dan pendapatan yang bersifat earmark.
Pada
RAPBN 2013 misalnya, pemerintah menambah komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) Kementerian/Lembaga yang akan digunakan kembali, subsidi pajak dan 60%
subsidi lainnya, sebagai faktor pengurang dalam menetapkan PDN netto, dengan
alokasi DAU menjadi Rp 306,2 triliun (Nota Keuangan RAPBN 2013, p.308).
Padahal, jika pemerintah konsisten menggunakan formula DAU sesuai dengan UU
Perimbangan Keuangan, maka DAU yang seharusnya dialokasikan pada RAPBN 2013
sebesar Rp 390,8 triliun atau terdapat selisih Rp 84,6 triliun dari DAU yang
dialokasikan pada RAPBN 2013. Pemerintah Daerah atau DPR seharusnya bisa
mendesak Pemerintah untuk meningkatkan alokasi DAU sesuai dengan rumusan yang
diatur UU.
Tidak
selayaknya, Pemerintah Pusat melempar kesalahan pada daerah semata, atas
terjadinya inefisiensi dan inefektivitas transfer daerah, dan merasa terus
berkomitmen meningkatkan desentralisasi fiskal, tanpa disertai perubahan disain
desentralisasi fiskal yang dibuatnya sendiri dan konsisten menerapkan kebijakannya.
Yuna Farhan
Sekjen
FITRA
Kompas, 28 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment