Friday, February 03, 2006

Bom Bali, Harga BBM, dan Kesaktian Pancasila

TANGGAL 1 Oktober yang dikenal dengan Hari Kesaktian Pancasila, ditandai dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang angkanya sangat luar biasa fantastis dan serangkaian ledakan bom pulau wisata, Bali.
Belum lepas ingatan kita dari kejadian bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2003 lalu, serangan teror pada 1 Oktober 2005 kembali menghantui pulau surga wisatawan ini.
Seakan tidak puas dengan teror kenaikan BBM yang mencekik rakyat, bom Bali kali ini tidak dapat disangkal akan semakin memberikan kontribusi negatif terhadap reaksi pasar yang lagi-lagi bermuara pada penderitaan rakyat.
Terdapat beberapa kemungkinan di balik terjadinya aksi bom Bali jilid kedua. Pertama, aksi bom (yang konon aksi bunuh diri) dilakukan oleh jaringan teroris yang sama pada bom Bali I. Secara common sense, dengan mudah orang menilai modus kejadian Bom Bali II tidak jauh berbeda dengan Bom Bali I.
Kedua kejadian ini dilakukan pada bulan yang sama dengan sasaran yang sama pada akhir pekan. Dengan mudah dapat ditebak, terdapat kaitan erat antara Bom Bali I dengan II, dan dilakukan oleh jaringan yang sama.
Namun, apakah jaringan teroris ini sebodoh itu? Atau jaringan ini dengan sengaja ingin show force tetap eksis dan mampu melakukan teror yang seharusnya sudah dapat diduga sebelumnya oleh aparat keamanan. Lalu, meng- apa mereka memilih hari yang sama dengan kenaikan BBM?
Kedua, teror bom Bali jilid II merupakan luapan kekecewaan akibat tersumbatnya upaya-upaya yang dilakukan dalam menentang kebijakan kenaikan BBM. Dengan kata lain, secara politis teror bom Bali merupakan upaya mendelegitimasi pemerintahan Yudhoyono yang berumur satu tahun.
Ketiga, Bom Bali II hanyalah upaya pengalihan isu dari kebijakan tidak populer kenaikan BBM. Merujuk pada teori konflik Cooser (1956), upaya yang dapat dilakukan untuk meredam konflik agar tidak tertuju pada objek sebenarnya, diperlukan safety valve (katup penyelamat).
Bom Bali dianggap sebagai katup penyelamat (yang tidak menyelamatkan) dari kerja-kerja invisible hand untuk mengalihkan kekecewaan dan penderitaan rakyat terhadap kenaikan BBM dalam rangka mengamankan rezim yang tengah berlangsung.
Keempat, adalah kemungkinan yang kecil terjadi. Bom Bali II yang terjadi tepat pada hari yang sama dengan kesaktian Pancasila, bertujuan mempertanyakan signifikansi dan relevansi Pancasila sebagai landasan ideologi berbangsa kita. Dramatisnya, ada anasir-anasir yang mencoba menggantikan Panca- sila.
Merupakan Teror
Kedua kejadian pada hari kesaktian Pancasila, merupakan teror bagi rakyat. Kenaikan BBM dan bom Bali II keduanya sama-sama menakutkan bagi rakyat.
Perbedaannya teror dalam bentuk kenaikan BBM memiliki legitimasi kekuasaan dengan dalih penyelematan perekonomian negara, walaupun tujuannya tidak ditujukan langsung untuk menteror rakyat.
Sementara, teror bom Bali II tidak memiliki legitimasi, meskipun tetap memiliki dalih yang dianggap benar oleh pihak yang melakukan teror itu sendiri yang memang tujuannya untuk menteror.
Bom Bali II dan kenaikan BBM dapat dikatakan mengganggu keteraturan sosial yang sedang berlaku di masyarakat serta yang dapat menyebabkan social disorder. Pada, kasus kenaikan BBM, awalnya masyarakat merasa nyaman dengan keteraturan sosial harga BBM subsidi, namun dengan pengurangan subsidi BBM (kenaikan BBM) keteraturan social di masyarakat menjadi tidak seim- bang dan menyebabkan disorder.
Disorder ini terjadi akibat definisi situasi pemerintah terhadap kenaikan BBM berbeda dengan definisi situasi rakyat.
Definisi situasi pemerintah terhadap kenaikan BBM, perlu dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian negara, karena meningkatnya harga minyak dunia yang semakin memberatkan beban anggaran negara untuk menyubsidi BBM yang lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas.
Sementara definisi situasi rakyat terhadap kenaikan BBM, memberatkan rakyat, harga-harga kebutuhan pokok akan merangkak naik dan pemerintah dianggap tidak berpihak kepada rak- yat.
Pemerintah mendefinisikan situasi kenaikan BBM dengan cara pandang makro sementara rakyat memandangya dari sisi mikro. Dua cara pandang yang berbeda ini yang menyebabkan social disorder. Padahal, seharusnya social order is negotiated order. Artinya seharusnya pemerintah menegosiasikan keteraturan sosial yang berlaku di masyarakat dalam mendefinisikan situasi kenaikan BBM.
Memang, pemerintah berupaya menegosiasikan keteraturan social dengan memberikan kompensasi berupa pemberian uang tunai sebesar Rp 100.000 untuk setiap keluarga miskin. Namun, lagi-lagi safety valve ini, diyakini tidak akan mampu meredam merangkaknya harga-harga kebutuhan dan mengangkat rakyat miskin dari jurang kemiskinan.
Tak Sebanding
Secara matematis, Rp 100.000 per bulan tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang akan dialami oleh rakyat miskin. Lagi-lagi pemerintah salah mendefinisikan situasi kebutuhan rakyat miskin dalam mengatasi dampak kenaikan BBM.
Hal yang sama terjadi dalam kasus Bom Bali II, social order versi teroris yang berbeda dengan Pemerintah dan definisi situasi yang berbeda pula. Singkatnya, Perbedaan definisi situasi antar pihak inilah yang menyebabkan terjadinya social disorder. Oleh karenanya, secara sosiologis, tawaran solusinya adalah social order is negotiated order.
Dua kejadian sekaligus pada hari kesaktian Pancasila, akan benar-benar menguji relevansi dan signifikansi ideologi kita, atau 01 Oktober 2005 benar-benar menjadi hari bersejarah dan titik tolak pembuktian bahwa Pancasila memang layak dan sakti mandraguna menjadi landasan ideologi kita.
Akhirnya, yel-yel yang sering dikumandangkan mahasiswa ketika berdemonstrasi "Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan" sebagai satu-satunya jalan masa depan keberlangsungan negara kita. *
Dimuat Dalam Harian Suara Pembaruan 04 Oktober 2005
http://www.suarapembaruan.com/last/index.htm

No comments: