Monday, February 06, 2006

Kuota Perempuan di Parlemen Desa

Kompas, 3 Februari 2003
Oleh: Yuna Farhan
NASIB perempuan dalam partisipasi kebijakan publik akan semakin termarginalkan. Tulisan Ani Soetjipto, Jalan Buntu di Panja RUU Parpol (Kompas, 4/11/2002), menunjukkan kesempatan perempuan untuk duduk dalam jabatan politik melalui parpol sebagai sarana rekrutmen politik mengalami deadlock.

Berbagai perangkat kebijakan Indonesia pada dasarnya sedikit pun tidak mencoba memperhatikan kesetaraan jender. Diratifikasinya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UndangUndang (UU) Nomor 7 Tahun 1984, menjadi landasan perjuangan isu kesetaraan jender, walaupun tidak ada sanksi berat bagi negara yang meratifikasi konvensi ini (sebatas dipermalukan dalam sidang PBB).

Seiring dengan bergulirnya bola reformasi, kesetaraan dan keadilan jender juga dituangkan dalam Propenas 2000-2004, yakni program untuk meningkatkan kualitas peranan perempuan dalam bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender dalam pembangunan nasional.

Otonomi daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 lalu melalui UU No 22/1999 dan UU No 25/1999, dikhawatirkan akan menambah ketimpangan jender yang selama ini terjadi. Kebijakan otonomi daerah yang juga mengisyaratkan otonomi desa sebagai subsistem dalam pemerintahan dikhawatirkan akan berimplikasi sama pada aras desa.

Pada aras desa, ketimpangan jender yang terjadi dalam masyarakat desa adalah adanya polarisasi peran antara laki-laki dan perempuan. Domain perempuan dianggap sebagai ruang domestik sehingga menyebabkan perempuan menjadi tersubordinasi. Begitu juga dengan partisipasi dalam wujud kontrol dalam masyarakat.

Di Kabupaten Sumedang, misalnya, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan desa relatif rendah, persentase perempuan yang duduk di Badan Perwakilan Desa (BPD) sebesar 2,5 persen (72 perempuan dari 2.886 anggota BPD), sedangkan yang menjadi kepala desa sebesar 6,8 persen (62 perempuan dari 262 desa). Hal ini menjadi pertanyaan, apakah otonomi desa telah mendiskreditkan perempuan?

Pengarusutamaan jender dalam pembangunan nasional akan terkait sekali dengan fungsi BPD atau parlemen desa sebagai penyalur aspirasi masyarakat di aras paling bawah. Dalam UU No 22/1999 Pasal 104 tentang BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik perempuan.

Dalam kaitannya dengan sistem nilai pada masyarakat pedesaan umumnya, ideologi jender masih kuat menentukan peran dan status perempuan dalam berbagai kegiatan, baik yang menyangkut dinamika intrarumah tangga maupun interrumah tangga. Peran perempuan yang hanya dalam domain domestik-salah satunya disebabkan budaya patriarkat dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan-tentunya akan lebih berarti dengan adanya representasi dalam parlemen desa. Diharapkan, perempuan akan lebih ada.

Partisipasi politik perempuan menentukan arah kebijakan publik di aras desa pun dapat dijadikan titik masuk. Samuel P Huntington dan Joan Nelson dalam Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1990) menyatakan, tujuan partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan itu harus ditujukan dan mempunyai dampak terhadap pusat di mana keputusan diambil. Tetapi, partisipasi politik desa akan cenderung menurun ketika keputusan menyangkut penduduk desa tidak diambil pada tingkat desa, melainkan pada tingkat nasional. Dengan demikian, partisipasi politik perempuan dalam kebijakan publik akan signifikan bila ada keterwakilan perempuan pada aras desa.

Pada prinsipnya, relevansi mendasar antara pentingnya kesetaraan jender pada aras desa yaitu lebih dari 50 persen penduduk Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan. Selain itu, Pasal 14 UU No 7/1984 juga mengisyaratkan penghapusan diskriminasi dan hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan bagi perempuan di pedesaan.

Kesetaraan sebagai pilar demokrasi akan timpang bila menegasikan kesetaraan jender dalam demokratisasi di aras ini, sehingga tidak salah dikatakan bahwa kesetaran jender merupakan keniscayaan dalam mewujudkan demokrasi. Begitu juga partisipasi dalam wujud kontrol dalam masyarakat sebagai check and balance dalam menjalankan pemerintahan desa.

DARI uraian di atas yang menjadi inti persoalan sebenarnya adalah bagaimana mereformasi institusi demokrasi yang ada di desa sehingga berperspektif jender?

Tindakan berpihak kepada kaum yang dahulu tertekan (affirmative action), kiranya merupakan strategi yang tepat dalam mengatasi ketimpangan ini. Affirmative action dengan menyediakan kuota perempuan di BPD atau parlemen desa menjadi tolak ukur keberhasilannya.

Namun, persoalan lain yang akan muncul setelah adanya keterwakilan perempuan di BPD adalah hal itu tidak dengan sendirinya akan mengubah kemauan politik di aras desa agar berperspektif jender.

Sebab, memang tidak ada jaminan untuk itu, kecuali bila perempuan yang ada di parlemen desa punya perspektif jender dan terpilih dengan mekanisme yang memenuhi akuntabilitas. Untuk itu, penguatan peran perempuan di BPD atau parlemen desa penting dalam mewujudkan masyarakat sipil desa yang berperspektif jender.

Penyadaran jender pada masyarakat desa tidak hanya ditujukan kepada perempuan, tetapi juga masyarakat desa semua secara keseluruhan. Penekanan akan pentingnya kesetaraan jender bukan dengan maksud memunculkan kompetisi antara laki-laki dan perempuan, melainkan lebih bersifat komplementer fungsi sosial keduanya.

Sebenarnya banyak kalangan berpendapat, affirmative action kuota perempuan di parlemen desa adalah tindakan yang bias jender. Dengan adanya affirmative action terhadap perempuan, secara implisit menyatakan sebenarnya perempuan memang inferior dibandingkan dengan laki-laki sehingga perlu dilakukan tindakan berpihak. Namun, apakah ada alternatif lain memperjuangkan kesetaraan jender untuk mengejar ketertinggalan, memperoleh titik start yang sama dalam meningkatkan peran perempuan yang selama ini tersubordinasi dan termarginalkan?
Dimuat pada harian Kompas pada tanggal 03 Februari 2003
http://www.fppm.org/Info%20Anda/kuota_perempuan.htm

No comments: