Tuesday, May 14, 2013

Sandera Pegawai pada APBD

PENGELOLAAN keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah (otoda) merupakan denyut nadi untuk mencapai tujuan otoda. Namun, alih-alih menjadi instrumen untuk menyejahterakan masyarakat daerah, APBD tersandera oleh beban belanja birokrasi daerah yang kian besar dari tahun ke tahun.

Berdasar kajian Fitra (2012), pada 2011 terdapat 298 daerah yang mengalokasikan separo lebih APBD untuk belanja pegawai, lalu meningkat menjadi 302 daerah pada 2012. Bahkan, 11 daerah mengalokasikan lebih dari 70 persen anggaran untuk belanja pegawai. Akibatnya, belanja modal untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sangat sempit.

Lebih repot lagi, Februari lalu presiden mewacanakan untuk menaikkan gaji 1.040 kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang dengan sadar atau tidak juga akan menaikkan gaji 15.000 anggota DPRD di seluruh Indonesia. 

Persoalan itu tidak semata-mata kesalahan daerah. Sistem desentralisasi fiskal yang berlaku menjadi akar besarnya beban belanja pegawai, khususnya pada kabupaten/kota. Rata-rata daerah mengandalkan 80 persen sumber pendapatannya dari dana perimbangan yang berasal dari pusat. Padahal, 70 persen di antaranya hanya sudah bersifat earmarked untuk membiayai pegawai, misalnya dana alokasi umum (DAU) serta tunjangan penghasilan guru. 

DAU justru memberikan insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai sekaligus disinsentif bagi daerah yang belanja pegawainya efisien karena tidak ingin jatah DAU berkurang. Formula perhitungan DAU dengan mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar memicu daerah tidak ambil pusing untuk membiayai atau merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. 

Ruang fiskal yang bisa digunakan daerah untuk menyejahterakan masyarakatnya juga sangat terbatas. Sebagian besar anggaran daerah sudah bersifat terikat, misalnya DAU yang lebih banyak digunakan oleh pegawai, DAK yang sudah ditetapkan peruntukannya, begitu pula dana penyesuaian seperti BOS dan tunjangan guru. 

Sementara hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memperoleh DBH (dana bagi hasil). Daerah juga diwajibkan memberikan dana pendamping DAK 10 persen dan dana pendamping PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) 20 persen-40 persen. Praktis kondisi itu menggambarkan daerah tak lebih hanya sebagai "tukang catat" anggaran pada APBD-nya. 

Sedangkan menggali sumber pendapatan asli daerah sulit dilakukan. Mengingat taxing power atau kewenangan daerah memungut pajak dibatasi karena bersifat closed list sesuai dengan UU No 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Penyanderaan itu terjadi bukan karena kelebihan jumlah pegawai. Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio pegawai negeri terhadap penduduk di Indonesia belum ideal, bah­kan lebih rendah daripada negara-negara tetangga. Namun, lebih kepada pemerataan dan model pembiayaan pegawai yang tidak efektif. 

Wacana pemerintah untuk membatasi belanja pegawai daerah maksimal 50 persen dari APBD tidak serta-merta bisa menyelesaikan beratnya beban daerah, sepanjang dana transfer dari pusat memang dalam bentuk belanja pegawai dan memberikan insentif terhadap penggemukan birokrasi. 

Bervariasinya tingkat kepadatan dan jumlah penduduk, kondisi geografis, serta kemampuan keuangan daerah tidak bisa diselesaikan secara simetris melalui pembatasan belanja pegawai. Justru bisa saja daerah yang belanja pegawainya sudah efisien akan meningkatkan hingga batas 50 persen. 

Perlu diuji solusi mengalihkan beban belanja pegawai kabupaten/kota ke provinsi. Pertama, karena kapasitas fiskal provinsi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota. Rata-rata pendapatan provinsi 50 persen bersumber dari PAD. Juga taxing power yang dimiliki provinsi lebih besar, misalnya pajak kendaraan bermotor, hotel, dan restoran. 

Kedua, skala kewenangan yang dimiliki provinsi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang harus melakukan pelayanan publik secara langsung. Kewenangan provinsi lebih banyak pada urusan lintas kabupaten/kota. Sebagai wakil pusat, kebanyakan kewenangan provinsi bersifat supervisi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi. Tidak heran, selama ini potret belanja provinsi lebih banyak dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan keuangan pada kabupaten/kota. Beban belanja pegawai provinsi juga jauh lebih sedikit, rata-rata hanya 18 persen pada 2012.

Ketiga, pengalihan belanja pegawai ke provinsi menjadikan peran dan kewenangan provinsi lebih jelas sebagai wakil pemerintah pusat. Provinsi bisa mengatur pengendalian dan pemerataan pegawai dari sisi kuantitas dan kualitas. Pemerintah pusat juga akan lebih mudah dalam melakukan reformasi birokrasi. Dengan rentang kendali pada tingkat provinsi, pusat dapat meminimalkan terjadinya politisasi birokrasi. Juga perlu diikuti dengan adanya perubahan skema dana perimbangan ke provinsi dan kabupaten/kota yang berorientasi pada besarnya skala kewenangan dan cakupan layanan publik. 

Revisi RUU Pemda yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR sudah seharusnya dapat menyelesaikan penyanderaan birokrasi anggaran daerah demi kesejahteraan masyarakat.


Yuna Farhan
Sekretaris Jenderal FITRA & Anggota Kelompok Kerja Otoda

Dimuat di Harian Jawa Pos, Senin 13 Mei 2013


No comments: