Monday, March 06, 2017

Bola Panas APBD Jakarta



Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pembahasan  anggaran berujung pada hak angketterjadi di DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Ahok, tetap bergeming menolak kompromi dengan legislatif daerah. Bukan hanya nasib 9 juta warga Jakarta yang pembangunannya bergantung pada penetapan APBD 2015. Namun ‘deadlock’ persetujuan anggaran ini juga dapat bergulir menjadi bola panas lengsernya orang nomor 1 dari kursi Gubernur DKI Jakarta.

Sesuai dengan Undang-undang, dengan tidak adanya persetujuan antara eksekutif dan legislatif dalam menetapkan anggaran,  berimbas pada kerugian besar yang akan dialami warga Jakarta. Pembangunan Ibu Kota akan terhambat, Pemda hanya bisa mengeluarkan anggaran keperluan bulanan yang besarnya paling tinggi sebesar angka APBD sebelumnya. 

Sebenarnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mencoba untuk mengatasi berbagai keterlambatan yang dialami banyak daerah selama ini. Dalam UU ini, jika sampai dengan tahun anggaran berjalan anggaran belum ditetapkan, maka baik Kepala Daerah maupun DPRD dikenai sanksi berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangannya. Namun tampaknya, bagi kalangan parlemen di Ibu Kota ini, sanksi tidak digaji bukanlah momok.

Jika ditarik kebelakang, molornya penetapan anggaran ini juga tidak terlepas dari masa transisi pergantian anggota legislatif pada Pemilu lalu. Berdasarkan catatan Kompas (28/02), eksekutif telah mengajukan kebijakan umum anggaran (KUA) sebagai dasar RAPBD kepada anggota DPRD periode sebelumnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau bulan Juni 2014. Namun belum sempat dibahas, terjadi pergantian anggota DPRD. KUA baru-pun diajukan kembali oleh pihak eksekutif kepada DPRD periode baru, dan dikarenakan dewan harus mempersiapkan internal organisasinya, RAPBD baru ditetapkan pada akhir Januari.

Terkuak kabar, DPRD ternyata masih membahas RAPBD pasca paripurna penetapan. Pembahasan pasca paripurna jelas merupakan tindakan illegal, ruang gelap yang dapat menjadi tumbuh suburnya pemburu rente anggaran.  Pasca paripurna penetapan anggaran, publik dan media sudah tidak memantau lagi, dengan anggapan paripurna merupakan akhir dari proses penetapan anggaran. Dari titik inilah muncul ‘dana siluman’ usulan dewan Rp. 8,8 trilyun. Pasalnya, dewan tak mau kalah, dan tetap mengusulkan RAPBD menurut versi pembahasan mereka.

Dalam konteks fungsi anggaran, memang UU 17 2003 Keuangan Negara, menjamin fungsi anggaran dewan untuk mengusulkan perubahan anggaran dari sisi pendapatan dan belanja sepanjang tidak mengakibatkan defisit. Namun, kerangka hukum belum mengatur secara tegas, sejauhmana diskresi fungsi anggaran dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran.

Sebenarnya dewan memiliki mekanisme jaring aspirasi, sebagai dasar untuk memastikan aspirasi konstituennya yang disampaikan dalam mekanisme Musrenbang diakomodasi dalam anggaran. Akan tetapi, dewan yang saat ini baru bertugas, belum terlibat pada saat pelaksanaan Musrenbang yang merupakan dasar dalam penyusunan anggaran. Sehingga bisa dikatakan dewan saat ini tidak memiliki kapasitas dalam mengusulkan kegiatan dalam anggaran. Peran dewan ini seharusnya lebih memfokuskan fungsi anggarannya untuk mengkritisi efektivitas alokasi anggaran.

Namun apa yang dilakukan dewan  dengan mengusulkan sendiri versi RAPBD nya,  jelas mengangakangi akal sehat publik. Fungsi anggaran dewan tidak bisa digunakan untuk mengeksekusi anggaran. Terlebih lagi dana siluman ini sudah ada sejak APBD 2014. Hasil invesigasi berbagai media terungkap, penyedia pengadaan UPS ke berbagai Sekolah banyak yang tidak memiliki kapasitas. Ini menunjukan, ‘dana siluman’ yang muncul dari dewan bukan digunakan untuk kepentingan aspirasi konstituennya, melainkan mencari rente dari usulan anggaran tersebut.

Sangat mungkin  “dana siluman’ tersebut telah di kavling-kavling oleh anggota dewan, dengan menyodorkan perusahaan tertentu yang bersedia memberikan kompensasi uang untuk pengadaan barang ataupun perusahaan rekanan yang memiliki keterkaitan dengan anggota dewan tersebut.

Praktek tersebut sebenarnya lazim terjadi di banyak daerah. Bahkan kasus-kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota DPR dalam pembahasan anggaran mengkonfirmasi terjadinya praktek ini. Tidak mengherankan pembahasan anggaran yang seharusnya menjadi ajang kontestasi politik terpenting setelah Pemilu, selalu berjalan mulus,  dengan berbagai kompromi dibelakangnya. Bentuk kompromi-pun bermacam, mulai dari jatah dana aspirasi, titipan dana siluman sampai dengan bentuk suap.

Sejatinya, melalui pembahasan anggaran, publik dapat melihat sejauhmana arah keberpihakan partai-partai politik di legislatif maupun eksekutif dalam memenuhi kesejahteraan rakyat.  Prakteknya,  pembahasan anggaran tak ubahnya bagai ritual tahunan antar elit berkuasan dalam membagi-bagi kue anggaran. Praktek ini dapat dilihat sebagai bentuk kartel politik dalam anggaran. Dimana, seluruh partai politik baik pemenang Pemilu maupun yang kalah bersama-sama membajak kue anggaran untuk kepentingannya.

Dalam konteks DKI Jakarta, Ahok yang saat ini bukan berasal dari partai politik, perlu dilihat sebagai upayanya melawan kartel politik  dalam anggaran.  Upaya melawan kartel politik anggaran bukanlah hal gampang. Upaya transparansi yang dilakukan Pemda DKI dengan menampilkan data APBD yang telah ditetapkan dalam dua tahun terakhir, dengan cukup rinci dalam website tidaklah cukup.

Menurut International Budget Partnership (IBP) setidaknya terdapat tujuh dokumen kunci anggaran yang harus dipublikasikan, seperti rancangan anggaran, anggaran yang ditetapkan, citizen budget  atau versi anggaran yang mudah dipahami warga, laporan rutin realisasi anggaran, laporan tengah semester anggaran, laporan realisasi akhir tahun anggaran dan laporan audit anggaran.

Memang,  Pemda juga telah mempublikasi RAPBD 2015 versi Pemda dengan menggunakan e-budgeting dan versi DPRD. Namun baru dilakukan pada saat setelah terjadinya perseteruan. Tentu ini  bisa jadi langkah tepat untuk meraih dukungan publik, dengan jalan membandingkan versi yang asli dengan yang memasukan dana siluman.

Ke depan inisiatif e-budgeting perlu diperkuat, tidak hanya dalam konteks memudahkan kerja Pemda, namun juga membuka akses keterlibatan warga Jakarta dan fungsi anggaran DPRD itu sendiri. E-budgeting seharusnya juga dapat menampilkan asal usul suatu kegiatan dalam APBD. Sehingga publik juga bisa menelusuri pada tahapan mana terjadinya perubahan atau proses naik turunnya anggaran, apakah terjadi pada saat penyusunan anggaran di eksekutif atau pembahasan anggaran di legislatif.

Dewan juga akan lebih mudah memastikan apakah suatu kegiatan di APBD merupakan usulan kebutuhan dari masyarakatnya atau bukan. Sehingga fungsi anggaran dewan bisa lebih diarahkan untuk menjamin hasil-hasil Musrenbang daerah pemilihannya diakomodasi dalam anggaran. Fungsi anggaran dewan dalam mengusulkan perubahan anggaran menjadi lebih akuntabel, sepanjang perubahan tersebut terekam dan dapat ditelusuri alasannya. Publik pun akan dapat menilai, mana dewan yang betul-betul memperjuangkan aspirasi warganya dan perlu didukung dalam pembahasan anggaran, dengan dewan yang mengusulkan dana siluman.

Partisipasi warga juga perlu ditingkatkan, dengan mengembangkan aplikasi-aplikasi e-participation yang membuka ruang partisiapasi warga, baik untuk terlibat dalam proses perencanaan penganggaran maupun dalam pengawasan pelaksanannya. Dengan infrastruktur teknologi informasi sekelas Ibu Kota, peluang ini cukup terbuka untuk dilakukan.

Keberanian Ahok melawan kartel politik anggaran dengan resiko dilengserkan patut didukung. Namun, upaya perlawanan ini tidak cukup dilakukan secara sporadis. Langkah komprehensif keterbukaan anggaran dan pelibatan warga bisa mejadi momentum, tidak hanya perbaikan bagi Jakarta, namun juga barometer bagi daerah lainnya.


Yuna Farhan

Mahasiswa PhD Kajian Indonesia, University of Sydney.