Pemilihan Kepala (Koruptor) Daerah
Sejatinya, pesta demokrasi lokal yang menjadi ajang saluran kedaulatan rakyat daerah tercemar oleh gurita tradisi politik uang. Para kontestan dituntut menghalalkan segala cara demi memenangi kontestasi lokal. Tak ayal, rakyat disuguhi calon-calon yang memiliki modal besar dan pencari rente ketika terpilih.
Dalam kontes pemilihan kepala daerah, sebenarnya dapat dibedakan antara ongkos pencalonan dan penyelenggaraan. Ongkos pencalonan merupakan biaya yang diperlukan calon kepala daerah untuk membayar partai politik pengusung dan untuk menarik simpati pemilih.
Mahalnya tarif partai politik menjadi faktor pendorong petahana menggunakan APBD secara ilegal. Calon dituntut mengumpulkan modal untuk menghadapi kontes ke depan, mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, ataupun membayar utang pascapilkada.
Modus yang kerap digunakan adalah ”permainan” dengan rekanan dan jaringan politik dalam kasus pengadaan barang dan jasa. Tak mengherankan apabila hasil audit BPK semester I tahun lalu menemukan pengadaan barang jasa sebagai kasus tertinggi: 658 kasus dengan nilai Rp 140 miliar.
Praktik untuk menarik simpati pemilih berlangsung lewat jalan pemberian bantuan dana pada sejumlah organisasi sosial dari alokasi bantuan sosial APBD. Sasaran organisasi sosial biasanya yang memiliki massa besar, dengan iming-iming untuk memilih sang kandidat atau balas jasa karena telah memilih calon yang menang.
Pola yang terjadi, bantuan sosial cenderung meningkat satu tahun sebelum pilkada diselenggarakan atau satu tahun setelah pilkada. Hasil penelusuran audit BPK, penyimpangan bantuan sosial mencapai Rp 765,3 miliar. Ini seperti dikatakan Allan Drazen dan Marcela Eslava (2004), siklus politisasi anggaran (political budget cycle) digunakan petahana untuk memengaruhi pemilih dengan meningkatkan belanja pada kelompok sasaran dengan kepentingan tertentu. Pola lain yang ditemukan adalah menggunakan media sosialisasi pada dinas-dinas yang menampilkan petahana, sebagai praktik lumrah yang tidak terjerat sanksi pelanggaran.
Tak terelakkan, biaya pilkada menjadi beban APBD. Hasil penelitian Fitra pada 14 daerah menunjukkan, sepuluh daerah harus memangkas belanja program dan kegiatannya—termasuk pendidikan dan kesehatan—pada tahun pilkada diselenggarakan. Penelusuran lebih jauh, postur anggaran pilkada sebagian besar dialokasikan untuk honor penyelenggara yang tidak terstandardisasi antardaerah. Pembiayaan dari APBD memengaruhi besarnya anggaran pilkada. Misalnya, modus memperbanyak kelompok kerja dan menjadi penghasilan baru bagi KPUD.
Penentuan besarnya anggaran pilkada juga menjadi arena tawar-menawar dengan petahana yang memengaruhi netralitas penyelenggara. Adanya potensi duplikasi anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD untuk komponen honor dan belanja administrasi memengaruhi mahalnya biaya penyelenggaraan.
Hasil kajian Ditjen Perimbangan Keuangan (2010) menunjukkan, kemampuan keuangan daerah semakin turun dengan semakin beratnya beban belanja pegawai. Di tengah keterbatasan, APBD dibebani dengan ongkos politik, dibajak para pencari rente untuk memenangi kontes dan biaya penyelenggaraan.
Menteri Dalam Negeri menawarkan solusi: petahana yang mencalonkan diri dalam pilkada bisa mengundurkan diri dan mengubah mekanisme dari langsung menjadi pemilihan oleh DPRD. Solusi pertama tidak akan ampuh mengekang keinginan petahana menggunakan APBD sebagai instrumen kampanye. Mencari modal atau mengembalikan modal, melalui bantuan sosial dan pengadaan barang-jasa, justru dimulai dua tahun sebelum pilkada atau setelahnya.
Penggunaan APBD sebagai ongkos pencalonan harus dilihat dari sisi ketersediaan dan kebutuhan. Dari sisi kebutuhan, petahana dituntut mengikuti tradisi politik uang parpol dan pemilih pragmatis. Mengubah kultur ini jelas membutuhkan waktu panjang, termasuk mengubah pola pikir partai politik.
Dari sisi pengadaan APBD sebagai sumber pendanaan, yang paling mungkin untuk mengeliminasi politik uang secara jangka pendek adalah melalui perubahan undang-undang pilkada. Bantuan sosial tidak diperkenankan lagi untuk diberikan langsung kepada organisasi sosial. Bantuan sosial harus dikembalikan seperti alokasi APBN.
Pemerintah harus memiliki program jelas yang membantu masyarakat lebih luas, seperti bantuan operasional sekolah (BOS) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Dalam hal pengadaan barang jasa, penegasan kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan keuangan daerah tidak diperkenankan masuk ke wilayah pengadaan, tetapi menjadi sepenuhnya domain birokrasi pengguna anggaran.
Solusi kedua yang mengubah pemilihan dari langsung menjadi pemilihan oleh DPRD hanya memindahkan masalah. Mengatasi masalah dengan masalah baru. Demokrasi langsung jelas merupakan ajang kedaulatan rakyat tertinggi untuk memilih seorang pemimpin.
Kita semua tahu, episentrum politik uang berada pada wilayah partai politik dan calon. Maka adalah tidak benar jika justru rakyat yang dikorbankan kehilangan hak pilihnya. Tidak ada jaminan politik uang pada aras pemilih berkurang. Alih-alih, politik uang semakin masif pada lingkaran elite politik lokal.
Mahalnya biaya penyelenggaraan tidak boleh menjustifikasi pengembalian pilkada kepada DPRD. Biaya pilkada bisa jauh lebih murah dengan cara memangkas honor penyelenggara, yaitu dengan membatasi pembentukan kelompok kerja, menghapus Panitia Pemungutan Suara dan mengurangi jumlah Kelompok Kerja Pemungutan Suara. Honor penyelenggara dapat dipangkas separuhnya tanpa mengurangi kualitas pilkada.
Penghematan biaya pilkada juga dapat dilakukan dengan sumber pembiayaan APBN. Hal ini dapat menghindari duplikasi anggaran, standardisasi harga pilkada, tidak mengganggu belanja publik daerah, dan menghindari biaya pilkada sebagai alat tawar petahana. Pembiayaan APBN dapat dihemat dengan penyelenggaraan pilkada secara serentak.
Masih banyak alternatif lain agar pilkada tidak menjadi ajang pemilihan pemimpin korup daerah, tanpa harus mengorbankan hak pilih rakyat menentukan masa depannya.
1 comment:
buy tramadol online with mastercard tramadol 50 mg info - purchase tramadol for dogs
Post a Comment