Pasca pemanggilan keempat pimpinan badan anggaran DPR oleh
KPK, publik dikejutkan oleh aksi boikot pembahasan anggaran oleh badan ini. Alih-alih
membenahi mekanisme pembahasan anggaran, pimpinan badan anggaran menyerahkan pembahasan
anggaran kepada pimpinan DPR.
Memang konstitusi menjamin fungsi anggaran DPR untuk tidak
memberi persetujuan atas proposal anggaran yang diajukan pemerintah. Namun dalam kasus ini, jelas badan anggaran
salah kaprah. Disetujui atau tidak disetujuinya
usulan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah harus berkaitan dengan substansi
dari usulan anggaran tersebut.
Sementara mogoknya aksi pembahasan anggaran, sama sekali
tidak berkaitan dengan substansi RAPBN 2012. Otoritas memberikan persetujuan anggaran,
disalahgunakan sebagai bargaining
position pimpinan Banggar agar tidak dipersalahkan atas kebijakan anggaran
yang diputuskan dan tidak sentuh oleh penegak hukum. Dalam konteks ini, pimpinan Banggar justru
melanggar sumpah atau janji jabatan yang diucapkannya, untuk mengutamakan
kepentingan Bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi, seseorang dan
golongan.
Tentu lain ceritanya,
jika penolakan pembahasan anggaran berkaitan dengan substansi. Rakyat akan mendukung DPR, apabila usulan
anggaran yang diajukan pemerintah tidak pro rakyat dan DPR menawarkan
alternatif pengganti anggaran yang jauh lebih baik.
Norton (2003), mengidentifikasi tiga tipologi peran
legislatif dalam proses penganggaran; persetujuan anggaran, mempengaruhi
anggaran dan pembuatan anggaran. Pada masa orde baru, DPR berada pada tipologi
pertama, lemah secara otoritas dan kapasitas untuk mengubah usulan anggaran
yang diajukan eksekutif, sekedar menjadi stempel atas usulan anggaran.
Pasca amandemen ketiga konstitusi, DPR memiliki otoritas
untuk mengubah atau-pun menolak usulan anggaran eksekutif, namun memiliki
kapasitas yang tidak memadai untuk mengusulkan alternatif anggaran dari mereka
sendiri. Ditambah dengan biaya politik tinggi untuk menghidupi partai
politiknya, menyebabkan fungsi anggaran DPR terjebak dalam pragmatisme “kejar
setoran” memburu rente anggaran.
Apa yang dilakukan KPK memeriksa Pimpinan Badan Anggaran
DPR, terkait kasus suap di Kemenakertrans, sudah berada pada jalur yang benar.
Bekerjanya praktek mafia anggaran dalam kasus ini harus dilihat dari hulu
kebijakan anggaran yang diputuskan oleh Banggar. Dana Percepatan Pembangunan
Infratruktur Daerah (DPPID) yang baru dialokasikan pada APBN Perubahan 2011,
merupakan sumber terjadinya kasus ini.
Badan Anggaran tidak memiliki kewenangan dan kapasitas
teknis untuk menetapkan besaran alokasi
dan daerah yang memperoleh DPPID. Dari sisi kewenangan, pasal 107 ayat 2 UU No
27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, secara tegas membatasi diskresi
Banggar yang hanya membahas alokasi yang telah diputuskan oleh komisi.
Sementara DPPID, diputuskan dalam rapat
kerja badan anggaran, dari hasil optimalisasi pembahasan anggaran yang
dilakukan. Sayangnya, memang Tata Tertib (Tatib) DPR tidak memiliki pengaturan
mekanisme pengalokasian anggaran hasil optimalisasi yang dilakukan oleh Badan
Anggaran.
Badan Anggaran DPR juga tidak memiliki kapasitas teknis
untuk menentukan alokasi dan daerah yang memperoleh dana ini. Implikasinya dana
ini justru mengacaukan sistem dana perimbangan sebagai instrumen mengatasi
kesenjangan antar daerah.
Analisis FITRA, menunjukan tidak ada korelasi pengalokasian
dana ini terhadap indeks fiskal ataupun indeks kemiskinan suatu daerah. Bahkan
terdapat kecenderungan secara nasional, daerah yang memiliki indeks kemiskinan
tinggi atau dengan jumlah penduduk miskin tinggi mendapatkan alokasi anggaran
lebih sedikit. Pola yang dapat dibaca,
orientasi pengalokasian adalah sekedar bagi-bagi rata anggaran. Sehingga tidak
salah dikatakan, dana ini sebagai dana aspirasi terselubung DPR. Tergantung
dari kemampuan daerah memiliki akses atau melobi untuk memperoleh dana ini.
Tergantung dari kemampuan daerah menyetor ataupun para kontraktor yang berani
memberikan dana talangan dengan “sistem ijon” untuk mengerjakan proyek dari
dana ini.
Dana ini juga berpotensi tumpang tindih dengan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Setidaknya terdapat sepuluh bidang yang sama dialokasikan DAK,
juga dialokasikan dalam DPPID. Dalam kasus suap Kemenakertrans, terdapat
sepuluh daerah yang telah mendapatkan alokasi tugas pembantuan untuk kegiatan
yang sama, dialokasikan kembali pada DPPID kawasan transmigrasi.
Menjadi pertanyaan, mengapa dana ini tidak disatukan saja
dalam bentuk DAK, yang diatur dalam Undang-undang dan telah memiliki formula
dan kriteria yang lebih jelas. Ketiadaan kriteria dalam pengalokasian dana
ini-lah yang menjadi penyebab bekerjanya praktek mafia anggaran dan anggaran
yang dialokasikan menjadi tidak tepat sasaran dan efektif.
Sebagai penunjuk, pengumuman yang kerap dikeluarkan Kemenkeu
atas beredarnya surat atau dokumen palsu daerah yang memperoleh alokasi dana
ini, menggambarkan ada yang salah dalam alokasi ini sehingga menyuburkan
calo-calo anggaran. Ini juga mempertegas, kasus suap Kemenakertrans hanyalah
puncak gunung es, yang juga berpeluang terjadi pada bidang-bidang lain dalam DPPID.
OECD (2003) memang mengkategorikan secara umum pembahasan di
DPR secara terbuka. Namun, keputusan-keputusan informal justru terjadi secara tertutup dan tidak diketahui publik.
Dalam kasus pembangunan pelabuhan di kawasan timur Indonesia yang melibatkan
salah seorang anggota Panitia Anggaran, justru keputusan usulan kenaikan
anggaran dilakukan di hotel yang turut dihadiri anggota lainnya.
Selain itu, masih banyak rapat-tapat pada tingkat panitia
kerja pada Banggar DPR yang masih bersifat tertutup. Dibandingkan alat
kelengkapan lain, Badan Anggaran, adalah alat kelengkapan yang tidak
mempublikasikan hasil-hasil rapatnya pada website DPR.
Penyerahan pembahasan anggaran oleh pimpinan badan anggaran
DPR kepada pimpinan DPR, dapat menjadi momentum pembenahan mekanisme pembahasan
anggaran di tubuh DPR. Badan Anggaran harus kembali ke khitah-nya. Badan
Anggaran hanya membahas alokasi yang diputuskan oleh Komisi. Domain badan anggaran
sebatas melakukan sinkronisasi atas usulan alokasi yang diajukan komisi,
membahas asumsi ekonomi makro dan pendapatan, alokasi anggaran menurut jenis,
fungsi dan organisasi. Sementara, domain Komisi adalah membahas alokasi
program kegiatan mitra kerja komisinya, termasuk mengusulkan transfer daerah
yang berkaitan dengan bidang Komisi-nya.
Tatib DPR juga harus mengatur, mekanisme pengalokasian
anggaran yang diperoleh dari hasil optimalisasi pembahasan anggaran. Hasil
optimalisasi, diperoleh pada saat pembahasan anggaran sudah memasuki tahap
akhir di tingkat badan anggaran, sehingga tidak mungkin untuk dibahas kembali
pada tingkat Komisi. Tidak mengherankan, meskipun APBN sudah disetujui dalam
rapat paripurna DPR, namun pembahasan Komisi dengan mitra kerja masih bisa
berlangsung mendiskusikan program dan
kegiatan. Termasuk pada Badan Anggaran yang membahas alokasi DPPID. Titik ini
yang sebenarnya cukup rawan terjadinya mafia anggaran. Karena pembahasan sudah jauh
dari pantauan publik.
Untuk menghindari ini, hasil optimalisasi hanya
diperkenankan untuk menutup atau mengurangi defisit anggaran. Sidang paripurna
pengesahan APBN, sepatutnya menjadi penetapan final anggaran program kegiatan dan alokasi anggaran untuk
daerah. Tidak diperkenankan adanya pembahasan anggaran pasca paripurna DPR. Seluruh
pembahasan anggaran harus bersifat terbuka, termasuk pada rapat panitia kerja
dan dilakukan di dalam gedung DPR.
Kita tidak menginginkan Badan Anggaran dibubarkan atau
fungsi anggaran DPR dilemahkan. Namun, kita juga tidak menginginkan DPR serta Badan
Anggaran menjadi wadah mufakat jahat para mafia yang mengerogoti anggaran
rakyat.
Yuna Farhan
Sekjen
FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran)
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/09/30/0922013/Mafia.Badan.Anggaran
Tanggal : 30 September 2011
No comments:
Post a Comment