Untuk pertama kalinya
dalam sejarah, pembahasan anggaran berujung
pada hak angketterjadi di DKI
Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Ahok, tetap bergeming menolak kompromi dengan
legislatif daerah. Bukan hanya nasib 9 juta warga Jakarta yang pembangunannya
bergantung pada penetapan APBD 2015. Namun ‘deadlock’ persetujuan anggaran ini
juga dapat bergulir menjadi bola panas lengsernya orang nomor 1 dari kursi
Gubernur DKI Jakarta.
Sesuai
dengan Undang-undang, dengan tidak adanya persetujuan antara eksekutif dan
legislatif dalam menetapkan anggaran,
berimbas pada kerugian besar yang akan dialami warga Jakarta.
Pembangunan Ibu Kota akan terhambat, Pemda hanya bisa mengeluarkan anggaran
keperluan bulanan yang besarnya paling tinggi sebesar angka APBD
sebelumnya.
Sebenarnya
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mencoba untuk mengatasi berbagai
keterlambatan yang dialami banyak daerah selama ini. Dalam UU ini, jika sampai
dengan tahun anggaran berjalan anggaran belum ditetapkan, maka baik Kepala
Daerah maupun DPRD dikenai sanksi berupa tidak dibayarkannya hak-hak
keuangannya. Namun tampaknya, bagi kalangan parlemen di Ibu Kota ini, sanksi
tidak digaji bukanlah momok.
Jika ditarik
kebelakang, molornya penetapan anggaran ini juga tidak terlepas dari masa
transisi pergantian anggota legislatif pada Pemilu lalu. Berdasarkan catatan
Kompas (28/02), eksekutif telah mengajukan kebijakan umum anggaran (KUA)
sebagai dasar RAPBD kepada anggota DPRD periode sebelumnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atau bulan Juni 2014. Namun belum sempat dibahas,
terjadi pergantian anggota DPRD. KUA baru-pun diajukan kembali oleh pihak
eksekutif kepada DPRD periode baru, dan dikarenakan dewan harus mempersiapkan
internal organisasinya, RAPBD baru ditetapkan pada akhir Januari.
Terkuak kabar, DPRD ternyata masih membahas RAPBD pasca paripurna
penetapan. Pembahasan pasca paripurna jelas merupakan tindakan illegal, ruang
gelap yang dapat menjadi tumbuh suburnya pemburu rente anggaran. Pasca paripurna penetapan anggaran, publik
dan media sudah tidak memantau lagi, dengan anggapan paripurna merupakan akhir
dari proses penetapan anggaran. Dari titik inilah muncul ‘dana siluman’ usulan
dewan Rp. 8,8 trilyun. Pasalnya, dewan tak mau kalah, dan tetap mengusulkan
RAPBD menurut versi pembahasan mereka.
Dalam konteks fungsi anggaran, memang UU 17 2003 Keuangan Negara,
menjamin fungsi anggaran dewan untuk mengusulkan perubahan anggaran dari sisi
pendapatan dan belanja sepanjang tidak mengakibatkan defisit. Namun, kerangka hukum
belum mengatur secara tegas, sejauhmana diskresi fungsi anggaran dewan dalam
mengusulkan perubahan anggaran.
Sebenarnya dewan memiliki mekanisme jaring aspirasi, sebagai dasar
untuk memastikan aspirasi konstituennya yang disampaikan dalam mekanisme
Musrenbang diakomodasi dalam anggaran. Akan tetapi, dewan yang saat ini baru
bertugas, belum terlibat pada saat pelaksanaan Musrenbang yang merupakan dasar
dalam penyusunan anggaran. Sehingga bisa dikatakan dewan saat ini tidak
memiliki kapasitas dalam mengusulkan kegiatan dalam anggaran. Peran dewan ini seharusnya
lebih memfokuskan fungsi anggarannya untuk mengkritisi efektivitas alokasi
anggaran.
Namun apa yang dilakukan dewan dengan mengusulkan sendiri versi RAPBD nya, jelas mengangakangi akal sehat publik. Fungsi
anggaran dewan tidak bisa digunakan untuk mengeksekusi anggaran. Terlebih lagi
dana siluman ini sudah ada sejak APBD 2014. Hasil invesigasi berbagai media
terungkap, penyedia pengadaan UPS ke berbagai Sekolah banyak yang tidak
memiliki kapasitas. Ini menunjukan, ‘dana siluman’ yang muncul dari dewan bukan
digunakan untuk kepentingan aspirasi konstituennya, melainkan mencari rente
dari usulan anggaran tersebut.
Sangat mungkin “dana siluman’ tersebut
telah di kavling-kavling oleh anggota dewan, dengan menyodorkan perusahaan
tertentu yang bersedia memberikan kompensasi uang untuk pengadaan barang
ataupun perusahaan rekanan yang memiliki keterkaitan dengan anggota dewan
tersebut.
Praktek tersebut sebenarnya lazim terjadi di banyak daerah. Bahkan
kasus-kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota DPR dalam pembahasan
anggaran mengkonfirmasi terjadinya praktek ini. Tidak mengherankan pembahasan
anggaran yang seharusnya menjadi ajang kontestasi politik terpenting setelah
Pemilu, selalu berjalan mulus, dengan
berbagai kompromi dibelakangnya. Bentuk kompromi-pun bermacam, mulai dari jatah
dana aspirasi, titipan dana siluman sampai dengan bentuk suap.
Sejatinya, melalui pembahasan anggaran, publik dapat melihat
sejauhmana arah keberpihakan partai-partai politik di legislatif maupun
eksekutif dalam memenuhi kesejahteraan rakyat.
Prakteknya, pembahasan anggaran
tak ubahnya bagai ritual tahunan antar elit berkuasan dalam membagi-bagi kue
anggaran. Praktek ini dapat dilihat sebagai bentuk kartel politik dalam anggaran.
Dimana, seluruh partai politik baik pemenang Pemilu maupun yang kalah
bersama-sama membajak kue anggaran untuk kepentingannya.
Dalam konteks DKI Jakarta, Ahok yang saat ini bukan berasal dari partai
politik, perlu dilihat sebagai upayanya melawan kartel politik dalam anggaran. Upaya melawan kartel politik anggaran bukanlah
hal gampang. Upaya transparansi yang dilakukan Pemda DKI dengan menampilkan
data APBD yang telah ditetapkan dalam dua tahun terakhir, dengan cukup rinci
dalam website tidaklah cukup.
Menurut International Budget Partnership (IBP)
setidaknya terdapat tujuh dokumen kunci anggaran yang harus dipublikasikan,
seperti rancangan anggaran, anggaran yang ditetapkan, citizen budget atau versi
anggaran yang mudah dipahami warga, laporan rutin realisasi anggaran, laporan
tengah semester anggaran, laporan realisasi akhir tahun anggaran dan laporan
audit anggaran.
Memang, Pemda juga telah mempublikasi RAPBD 2015
versi Pemda dengan menggunakan e-budgeting
dan versi DPRD. Namun baru dilakukan pada saat setelah terjadinya perseteruan.
Tentu ini bisa jadi langkah tepat untuk
meraih dukungan publik, dengan jalan membandingkan versi yang asli dengan yang
memasukan dana siluman.
Ke depan inisiatif
e-budgeting perlu diperkuat, tidak
hanya dalam konteks memudahkan kerja Pemda, namun juga membuka akses
keterlibatan warga Jakarta dan fungsi anggaran DPRD itu sendiri. E-budgeting seharusnya juga dapat
menampilkan asal usul suatu kegiatan dalam APBD. Sehingga publik juga bisa
menelusuri pada tahapan mana terjadinya perubahan atau proses naik turunnya
anggaran, apakah terjadi pada saat penyusunan anggaran di eksekutif atau
pembahasan anggaran di legislatif.
Dewan juga
akan lebih mudah memastikan apakah suatu kegiatan di APBD merupakan usulan
kebutuhan dari masyarakatnya atau bukan. Sehingga fungsi anggaran dewan bisa
lebih diarahkan untuk menjamin hasil-hasil Musrenbang daerah pemilihannya
diakomodasi dalam anggaran. Fungsi anggaran dewan dalam mengusulkan perubahan
anggaran menjadi lebih akuntabel, sepanjang perubahan tersebut terekam dan
dapat ditelusuri alasannya. Publik pun akan dapat menilai, mana dewan yang
betul-betul memperjuangkan aspirasi warganya dan perlu didukung dalam pembahasan
anggaran, dengan dewan yang mengusulkan dana siluman.
Partisipasi
warga juga perlu ditingkatkan, dengan mengembangkan aplikasi-aplikasi e-participation yang membuka ruang
partisiapasi warga, baik untuk terlibat dalam proses perencanaan penganggaran
maupun dalam pengawasan pelaksanannya. Dengan infrastruktur teknologi informasi
sekelas Ibu Kota, peluang ini cukup terbuka untuk dilakukan.
Keberanian Ahok melawan kartel politik anggaran dengan resiko dilengserkan
patut didukung. Namun, upaya perlawanan ini tidak cukup dilakukan secara
sporadis. Langkah komprehensif keterbukaan anggaran dan pelibatan warga bisa
mejadi momentum, tidak hanya perbaikan bagi Jakarta, namun juga barometer bagi
daerah lainnya.
Yuna Farhan
Mahasiswa
PhD Kajian Indonesia, University of Sydney.