Saturday, February 04, 2006

Korupsi Ala Parlemen Daerah

Peningkatan kasus korupsi menjadi gejala umum di negara transisi demokrasi. Premis yang bisa diajukan adalah: Pertama, demokrasi cenderung mendorong kebijakan privatisasi demi efisiensi. Ini sekaligus menciptakan peluang terjadinya korupsi dalam proses tendernya. Kedua, demokrasi mendorong sistem pemilu yang lebih akuntabel. Sistem pemilu proposional terbuka ataupun distrik menyebabkan biaya rekrutmen politik sangat besar untuk meraih ke-kuasaan. Biaya memperoleh kekuasaan politik ini akan dikumpulkan para pengambil keputusan ketika berkuasa. Dan ketiga, agenda reformasi, otonomi daerah mendorong desentralisasi kekuasaan, pengambilan keputusan tersebar sampai tingkat lokal dan mendorong korupsi yang turut terdesentralisasi pula.Vonis terhadap 43 anggota DPRD Sumatera Barat dalam kasus penyalahgunaan APBD, hanyalah segelintir dari penampakan kasus korupsi yang dilakukan DPRD sejak digulirkannya otonomi daerah. Berdasarkan catatan FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2004 telah terjadi 25 kasus penyalahgunaan APBD, yang melibatkan anggota DPRD baik yang masih dalam proses penyelidikan maupun yang telah diajukan ke pengadilan.Belum lagi adanya tuntutan uang pesangon yang muncul di beberapa daerah dengan berbagai istilah, mulai dari uang pesangon, uang kehormatan, uang turun, uang kadeudeuh, pensiun, tali asih dan purnabakti, yang intinya sama, meminta uang tambahan menjelang berakhirnya masa bakti DPRD. Penampakan uang pesangon terjadi sebanyak 42 kasus pada hampir 50% provinsi di Indonesia. Fenomena ini disebabkan kekosongan peraturan yang mengatur kedudukan keuangan DPRD, sejak dikabulkannya judicial review PP 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD oleh MA yang diajukan oleh DPRD Sumatera Barat.Bila ditilik lebih jauh, modus "korupsi dan uang pesangon" ala parlemen daerah ini terjadi karena balas jasa anggota DPRD terhadap partai politik yang telah memilihnya pada tahun 1999. Sehingga ketika berkuasa atau memperoleh kursi sebagai konsekuensi dituntut untuk membagi penghasilannya atau membayar utangnya kepada partai yang telah memilihnya. Sistem Pemilu 2004 yang proposional terbuka juga membuat para anggota DPRD periode ini merasa terancam karena tidak yakin akan terpilih lagi dan merasa tidak popular. Maka waktu yang tinggal sedikit ini dipergunakan untuk mengeruk anggaran sebesar-besarnya sebagai tabungan hari tua atau pensiun. Hakikat Uang RakyatAtau bisa karena sebaliknya. Apabila anggota dewan itu merasa populer dan yakin terpilih kembali dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka, maka modal besar akan diperlukan untuk menjadi kontestan. Sumbernya dananya lagi-lagi akan dikuras dari APBD. Jika mereka terpilih kembali pada Pemilu 2004, ditengarai mereka kembali "mengeksploitasi APBD" untuk memenuhi titik impas (break event point) atau untuk mengembalikan uangnya yang telah dikeluarkan untuk kampanye. Elite di tingkat pusat juga tidak memberikan contoh yang baik. Dikabulkannya kasasi Akbar Tanjung oleh MA, dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog, merupakan preseden buruk yang dapat berimplikasi terkonstruksinya koruptor-koruptor lokal dalam parlemen daerah.Melihat fenomena di atas, harus ada upaya-upaya sistematis yang sifatnya fundamental pada aspek kebijakan, sosial dan moral. Dari apsek kebijakan, ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Alternatif pertama, adalah perubahan kedudukan keuangan DPRD tidak lagi dialokasikan dalam APBD melainkan dialokasikan dalam APBN. Hal ini dilakukan, sebagai upaya mengeleminasi "libido" DPRD menentukan penghasilannya semaunya yang bersumber dari APBD. Alokasi keuangan DPRD dalam APBN akan mendorong hak budget DPRD lebih memfokuskan anggaran di daerah lebih kepada kepentingan publik.Kedua, kekosongan aturan batasan gaji DPRD tidak bisa lagi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, kecuali terlebih dahulu ada revisi mendasar UU 22 1999 atau disusun UU baru untuk mengaturnya. Namun, perlu menjadi catatan peraturan dari pusat ini, tidak perlu mengatur limit besarnya gaji DPRD yang notabene sebagai bentuk uniformitas dan intervensi pusat terhadap daerah, melainkan dibuat UU yang cukup mengatur mekanisme penentuan gaji DPRD dengan melibatkan stakeholder yang ada di daerah dan memperhatikan aspirasi di daerahnya masing-masing.Dari aspek sosial kaitannya perubahan kultur sosial masyarakat, perlu dilakukan penyadaran terhadap persepsi rakyat akan hakikat anggaran sebagai uang rakyat karena berasal dari rakyat, sedangkan pemerintah hanya menjalankan mandat untuk mengelola anggaran tersebut. Secara tidak langsung, meningkatnya kesadaran rakyat akan hakikat anggaran dapat menjadi kontrol terhadap DPRD yang menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya. Sementara untuk aspek moral, kaitannya dengan rating negara terkorup dan terbersih yang pernah dikeluarkan Transparency International, setidaknya cukup ampuh untuk mempermalukan negara-negara terkorup untuk memperbaiki diri. Sehingga perlu didorong pula adanya rating daerah terkorup dan terbersih, sebagai bentuk sanksi moral.
Penulis adalah aktivis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Tulisan Dimuat pada harian sinar Harapan 14 Juni 2004 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/14/opi01.html

No comments: