Menggali Kuburan Parlemen Daerah
Sequel kisah kasus korupsi PP No 110/2000 yang menjerat parlemen daerah 1999-2004 akan segera beredar Jilid II-nya, seiring ditetapkannya PP No. 37/2006 tentang Perubahan Kedua PP No 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
Durian runtuh berupa tunjangan komunikasi insentif (TKI) sebanyak 3 kali uang representasi dan dana operasional (DO) bagi pimpinan DPRD yang diberlakukan surut mulai Januari 2006, dapat dipastikan memberatkan keuangan daerah. Diperkirakan, konsekuensi adanya PP ini akan menelan kas daerah Kab/Kota sebesar Rp. 2,4 triliyun hanya untuk membayarkan rapelan TKI dan DO tahun 2006 plus 2007 diluar alokasi anggaran untuk Sekwan dan DPRD Propinsi. Untuk daerah miskin , dengan PAD terbatas, otomatis ini akan mengurangi prioritas belanja pembangunan untuk publik secara signifikan. Padahal, menurut UU No 32/2004 mengisaratkan belanja daerah diprioritaskan untuk peningkatan pelayanan dasar.
Pemberlakukan PP ini akan menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di berbagai daerah dalam mengelola APBDnya. TKI dan DO per Januari 2006, tidak dapat dialokasikan pada perubahan APBD tahun 2006. UU No 33/2004 dan UU 32/2004, menyatakan APBD-P ditetapkan paling lambat 3 bulan sebelum tahun anggaran berakhir atau bulan Oktober 2006. Sementara PP ini baru ditetapkan pada tanggal 14 November 2006. Kedua tunjangan rapelan per Januari 2006 ini, juga tidak bisa dialokasikan pada APBD 2007. Karena beberapa Undang-undang yang mengatur keuangan daerah, seperti UU 17/2003, UU 1/2004, UU 32/2004 dan UU 33/2004, menyatakan tahun anggaran adalah selama 1 tahun mulai 1 Januari sampai dengan Desember.
Perkembangan Regulasi Keuangan DPRD
Secara historis, regulasi keuangan DPRD telah berganti sebanyak 3 kali. Masih segar dalam ingatan kita, kasus-kasus korupsi PP No.110/2000 pada DPRD periode 1999-2004, diantaranya kasus uang jasa pengabdian atau uang purna bakti, yang pada awalnya tidak dibenarkan PP ini. Kemudian, terbitlah PP 24/2004 yang membenarkan adanya uang purna bakti dan tunjangan perumahan bagi anggota DPRD. Ternyata, tunjangan perumahan ini menuai protes dari BPK yang mengharuskan adanya rumah yang disewa. Pemerintah, akhirnya menerbitkan kembali PP No 37/2005 sebagai perubahan pertama, yang mensahkan uang sewa rumah yang diberikan setiap bulan tanpa harus benar-benar menyewa rumah. Terakhir, untuk memuaskan libido pengerukan uang rakyat di APBD, dikeluarkan PP No 37/2006 dengan tambahan penghasilan yang fantastis berupa TKI dan DO.
Hal ini menimbulkan kesan, upaya pemberantasan korupsi, dilakukan dengan cara menerbitkan regulasi sebagai alat justifikasi agar tindakan yang sebelumnya merupakan pidana, dilegalkan melalui peraturan atau korupsi yang dilegalkan.
DPRD seharusnya lebih kritis tidak menelan mentah-mentah regulasi ini. Bisa jadi, kenaikan penghasilan DPRD, merupakan upaya pengalihan isu, yang awalnya publik menyoroti eksekutif dalam penyusunan anggaran, beralih untuk mengkritisi penghasilan DPRD atau meminjam istilah konflik Cooser (1956) sebagai savety valve (katup penyelamat) untuk meredam konflik agar tidak tertuju pada objek sebenarnya.
Secara manifest, pemberlakukan PP 37/2006 memang memiliki fungsi positif bagi DPRD untuk menambah koceknya. Tetapi, dibaliknya mengandung fungsi laten yang bersifat disfungsional (negative) sebagai un anticipated qonsequences (Robert K. Merton, 1964) . Penambahan penghasilan DPRD akan memperburuk citra DPRD di mata rakyatnya, akan terjadi pendeletigimasian yang berakibat pada pendegradasian fungsi anggaran DPRD dan menyebabkan dominasi kembali pengelolaan anggaran oleh eksekutif.
Oleh karenanya, jika tidak ingin menggali kuburannya sendiri DPRD perlu mempergunakan kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences) dengan menimbang fungsi positif dan negatif sebelum menerapkan regulasi ini.
Untuk Pemerintah, rencana dikeluarkannya Permendagri sebagai turunan PP ini membuktikan bentuk ketidaktegasan SBY dan cara Pemerintah yang cari selamat dari reglasi yang ditetapkannya. Karena toh, secara hirarkies PP lebih tinggi ketimbang PerMen, sehingga tidak salah jika DPRD tetap mengacu pada PP. Seharusnya, SBY tidak ragu untuk mencabut dan merevisi PP ini. Salah satu formulasi yang dapat dipergunakan untuk mengatur pengahasilan DPRD yang pro rakyat, dapat mempergunakan parameter berdasarkan proporsi belanja pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Sehingga, proporsi penghasilan DPRD akan menjadi lebih tinggi, kalau DPRD mampu mengalokasikan anggaran pelayanan dasar yang tinggi pula.
Yuna Farhan
Wakil SekJen FITRA