MENANTI KE(TIDAK)TEGASAN SBY?
Presiden SBY akhirnya mau merevisi PP 37/2006 dengan menghapus pasal 14 d tentang pemberlakuan surut tunjangan komunikasi insentif (TKI) dan dana operasional (DO) per Januari 2006. Namun, langkah pragmatis ini tidak menjawab persoalan substantif yang dituntut rakyat, melainkan bentuk manuver politik untuk sekedar mengembalikan citra di mata publik.
Alih-alih mengembalikan TKI dan DO, dengan menanggalkan rasa malunya, DPRD dari berbagai daerah bersatu padu untuk mengeruk uang rakyat secara legal dengan menolak revisi PP 37/2006. Seharusnya dari awal Pemerintah mengambil langkah tegas, akui PP ini sebagai produk yang cacat hukum dan mengganti pejabat-pejabat yang terkait atas skandal ini.
Pantaslah kiranya, jika Pemerintah Pusat dituding hanya menjadikan DPRD sebagai obyek mendokrak citra pemerintah. Principle of least interest George C. Homans (1974) menjelaskan hal ini, orang yang memiliki kepentingan paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi.
Padahal , rencana revisi ini-pun masih menyisakan persoalan lain, Pertama, pengalokasian TKI dan DO berimplikasi terjadinya duplikasi anggaran dan tidak akuntabel. Pasalnya dalam PP sebelumnya (PP 24/2004 dan PP 37/2005), pada pasal 24 disediakan belanja penunjang kegiatan untuk mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD. Sehingga TKI dan DO ini tidak perlu dialokasikan kembali, karena seluruh kepentingan DPRD bisa diakomodasi dalam belanja penunjang kegiatan. Mengingat sistem anggaran mempergunakan pendekatan kinerja, maka setiap rupiah yang dikeluarkan harus dibisa diukur target kinerjanya. TKI dan DO yang diberikan dalam bentuk tunjangan sebagai penghasilan bulanan, tidak akan bisa diukur kinerjanya atau tidak memiliki akuntabilitas yang jelas.
Kedua, lamanya jangka waktu pengembalian TKI dan DO yang diterima anggota DPRD sampai dengan Desember 2007, membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kedua tunjangan ini untuk memperkaya diri DPRD. Padahal, semakin cepat para anggota DPRD mengembalikan TKI dan DO, dapat direalokasi untuk belanja pelayanan publik yang bersentuhan untuk rakyat..
Ketiga, Tidak relevan pemberian TKI dan DO berdasarkan kemampuan keuangan daerah dengan parameter kemampuan PAD. Besarnya kemampuan PAD tidak berhubungan dengan besar kecilnya biaya komunikasi DPRD dengan konstituen maupun operasional yang diperlukan pimpinan DPRD. Implikasinya, DPRD akan berlomba-lomba membuat Perda-perda untuk mendongkrak PAD agar TKI dan DO yang mereka peroleh bisa lebih besar. Secara historis, terbukti Perda-perda peningkatan PAD ini, malah menghambat masuknya investasi ke daerah karena dibebani berbagai pungutan
Penghasilan DPRD Pro Rakyat
Parameter jenis-jenis penghasilan DPRD selama ini mempergunakan besarnya gaji pokok Kepala Daerah (KDH) sebagai dasar perhitungan. Misalnya, uang representasi Ketua DPRD besarnya 100% Gaji Pokok KDH. Alasannya, DPRD dan Kepala Daerah memiliki posisi yang sederajat dan sama-sama dipilih oleh rakyat. Padahal, justru kesamaan penghasilan ini menimbulkan kedekatan politik DPRD dengan Kepala Daerah.
Tidak menutup kemungkinan, jika para Kepala Daerah juga akan menuntut kenaikan gaji pokok mereka yang diatur dalam PP 59/2000. Maka, otomatis kocek anggota DPRD kembali kebanjiran kenaikan besarnya berbagai penghasilan mulai dari uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan, TKI dan DO. Tanpa harus mengajukan perubahan terhadap PP yang mengatur kedudukan keuangan DPRD. Karena semua jenis penghasilan DPRD itu mengacu pada besarnya gaji pokok KDH.
Jalan keluarnya, untuk melahirkan ”wakil rakyat daerah” yang benar-benar pro terhadap kepentingan rakyatnya, ke depan penghasilan DPRD tidak lagi mempergunakan parameter besarnya gaji pokok KDH maupun PAD. Melainkan, mempergunakan parameter alokasi belanja pemenuhan hak-hak dasar, seperti pendidikan dan kesehatan atau pengentasan kemiskinan.
Misal, besarnya total belanja penghasilan DPRD maksimal 0,25% dari belanja langsung (program) pendidikan dan kesehatan diluar belanja pegawai. Secara tidak langsung, fungsi anggaran DPRD akan diorientasikan untuk meningkatkan alokasi pada sektor pendidikan dan kesehatan yang selama ini belum mendapatkan porsi yang memadai. DPRD akan berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan, karena akan berpengaruh terhadap meningkatnya penghasilan mereka. Jadi, meskipun penghasilan DPRD meningkat, setidaknya hak-hak dasar rakyat, pendidikan dan kesehatan dapat segera terpenuhi.
Dengan begitu, Pemerintah tidak perlu lagi mengatur secara rinci-rinci besarnya jenis-jenis penghasilan DPRD. Seperti yang dikeluhkan saat ini, oleh para anggota DPRD, terhadap besarnya intervensi Pemerintah. Peran pemerintah pusat di era otonomi daerah cukup memberikan rambu-rambu dengan mengatur besaran maksimal total belanja penghasilan DPRD secara keseluruhan. Selanjutnya, berikan kewenangan kepada DPRD untuk mengatur mekanisme penghasilan yang akan diterima oleh masing-masing anggotanya.
Bola ada di tangan pemerintah. Pada evaluasi akhir tahun, Presiden SBY menyatakan akan bertindak tegas pada sisa pemerintahannya. Kita nantikan ke(tidak)tegasan Presiden SBY, apakah akan mencabut PP 37/2006 dan menggantinya dengan PP yang pro rakyat? atau hanya sekedar merevisi? Dan menimbulkan komflik politik yang berkepanjangan.
Wakil Sekjen Seknas FITRA.
Anggota Koalisi Nasional Tolak PP 37/2006
No comments:
Post a Comment