Friday, April 27, 2012

Elit (Gedung) Miring


Entah apa yang ada dipikiran Ketua DPR Marzuki Alie. Masih segar diingatan publik, pernyataannya yang menyakitkan soal Gempa Mentawai. Kembali memberikan pernyataan menyesakkan dada. “Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu” (Kompas, 01/04/2011).

Sebagai elit, seharusnya Marzuki paham. Anggaran yang digunakannya untuk membangun gedung DPR, berasal dari pajak rakyat,. Sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat,  rakyat telah membayar pajak untuk Negara ini.  Pajak merupakan bentuk hubungan antara warga dan Negara. Warga miskin sekali-pun, memiliki andil berkonstribusi pada perekonomian Negara. Tidak lah patut, Ketua DPR  yang justru memperoleh tunjangan pajak penghasilan yang ditanggung Negara, merasa lebih berhak membahas gedung DPR dibandingkan rakyat jelata. Pernyataan,  hanya orang-orang elit dan pintar yang bisa diajak bicara justru tidak mencerminkan pendapat orang pintar atau terpelajar. Meminjan kutipan roman “Bumi Manusia” Pramoedya Ananta Toer; “Seseorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.

Sebagai Ketua DPR, seharusnya paham prinsip-prinsip keuangan Negara  dan fungsi anggaran seperti diatur pada pasal 3 UU No 17 2003. Diantaranya efisien, ekonomis, serta memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Apakah bisa dikatakan efisien? DPR telah memiliki gedung, namun kurang ruangan. Lantas membangun gedung baru. Bicara efisien artinya dengan masukan seminimal mungkin, menghasilkan keluaran optimal. Tidak ada jaminan DPR saat di gedung lama, setelah pindah ke gedung baru akan meningkat kinerjanya.

Prinsip ekonomis menunjukan alokasi anggaran yang digunakan harus bernilai ekonomi. Pidato Presiden SBY dalam penyampaian nota keuangan APBN 2011, untuk mempercepat  pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan belanja modal, tidak akan ada artinya jika belanja modal diarahkan untuk membangun gedung DPR. Mana yang lebih ekonomis? Anggaran Rp. 1,1 triliyun untuk membangun gedung DPR yang akan dihuni 560 elit atau membangun jalan sepanjang atau membangun 1,100 Km jalan yang menghubungkan jalur distribusi pangan. Membangun infrastruktur jalan adalah prioritas kebutuhan, membangun gedung DPR adalah keinginan.

Anggaran juga memiliki fungsi distribusi yang memiliki arti kebijakan anggaran Negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dimana letak keadilan? Disaat yang sama program-program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM dan BOS berasal dari utang, sementara pajak dari rakyat yang seharusnya  menjadi instrumen pemerataan pendapatan, justru untuk membangun gedung DPR yang hanya dinikmati segelintir elit senayan. Dari sisi kepatutan, apakah patut? Dengan garis kemiskinan Rp. 221 ribu, anggaran gedung baru setara dengan 5,5 juta orang miskin.

Marzuki Alie sepertinya lupa, salah satu sumpah/janji DPR menjalankan kewajiban dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara dari pada kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya. Mungkin Marzuki Alie juga tidak ingat, DPR memiliki tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Sehingga tidak salah, survey bisa dijadikan alat untuk mengukur aspirasi rakyat terhadap pembangunan gedung baru. Meskipun, penolakan publik diberbagai media sudah mencerminkan tidak sejalannya aspirasi masyarakat dengan keinginan pembangunan gedung DPR..

Sedari awal, alasan  pembangunan gedung baru DPR sudah sarat kebohongan. Mulai dari gedung miring, hingga kelebihan kapasitas. Kebohongan lain juga terungkap, bahwa pembangunan gedung baru merupakan rekomendasi tim  kinerja dan telah disetuji DPR periode sebelumnya ternyata tidak ada dalam rekomendasi tim kinerja (Kompas, 01/004/2010).

Dari sisi harga juga tercium aroma tidak sedap. Usulan biaya senilai Rp. 1,8 trilyun, dengan adanya kritik publik, terus mengalami penurunan menjadi Rp. 1,6 trilyun, Rp. 1,3 trilyun dan terakhir Rp.1,1 trilyun. Kecurigaan usulan anggaran di atas biaya sesungguhnya, memperkuat adanya elit-elit yang mencari rente dari proyek mercu suar ini.  Berangkat dari pengalaman  pengadaan Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata yang juga bersifat tahun jamak, proyek gedung DPR juga berpotensi membengkak anggaran dari yang telah direncakanakan.

Penolakan Fraksi

Muncul penolakan beberapa fraksi dan gerakan moral penggalangan tanda tangan lintas fraksi untuk menolak gedung baru patut untuk diapresiasi. namun juga patut dipertanyakan. Mengingat keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) merupakan perwakilan fraksi-fraksi. Tugas BURT pada UU 27 tahun 2009 juga menyatakan kewajiban untuk menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR dan menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR. Jika ini tidak dilakukan, maka fraksi-fraksi yang saat ini menolak dituntut konsitensinya untuk menarik perwakilan anggota fraksinya di BURT dan melaporkannya ke Badan Kehormatan karena tidak menjalankan tugas.

Pasalnya, berangkat dari pengalaman yang sudah-sudah, penolakan atau penundaan hanya untuk mencari popularatias politik, atau sekedar cari selamat ditengah kritik publik. Namun setelah kritik publik mereda atau dialihkan dengan isu lain,  usulan kembali dilakukan secara diam-diam, seperti menyelubungi  dana aspirasi, dengan  bentuk Dana Penguatan Infrastuktur Daerah (DPID).

Kalau memang penolakan ini serius, DPR harus segera menghapuskan anggaran gedung baru dari Setjen DPR pada APBN-Perubahan. Perbaikan lebih strategis ke depan juga perlu dilakukan dalam memperbaiki mekanisme perencanaan anggaran di tubuh BURT.  DPR yang mulai mengalami krisis legitimasi, dapat merebut kembali hati rakyat, jika berani membuka rencana anggaran yang disusun BURT termasuk rencana studi banding untuk diuji dan diberikan penilaian oleh publik.

Sebagai kader demokrat, yang notabene partainya Presiden yang berkuasa, Marzuki Alie seharusnya malu. Presiden mengeluarkan Inpres No 7 tahun 2011 tentang penghematan belanja Kementerian/Lembaga tahun 2011, sementara kadernya memimpin DPR dan memiliki fungsi anggaran sesuai amanat konstitusi justru tidak menjadi lokomotif dalam penghematan anggaran. Jika praktek aji mumpung, penghamburan uang Negara terus berlangsung, DPR akan  mengalami posisi tawar lemah dan kemandulan fungsi anggaran dalam mengkritisi proposal anggaran pemerintah.

Cukup sudah, komentar miring dari masinis gedung miring. Sepatutnya Marzuki Alie merenungkan kutipan cerpen “robohnya surau kami” karya A.A Navis (2002): “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri, Kau takut masuk neraka, tapi kau lupakan kehiduan kaummu sendiri.  Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun”. 


Yuna Farhan
Sekretaris Jenderal
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/05444082/elite.gedung.miring
Sumber: Kompas
Tanggal: 05 Apr 11

No comments: