Entah apa yang ada dipikiran
Ketua DPR Marzuki Alie. Masih segar diingatan publik, pernyataannya yang
menyakitkan soal Gempa Mentawai. Kembali memberikan pernyataan menyesakkan
dada. “Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya
orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu”
(Kompas, 01/04/2011).
Sebagai elit, seharusnya Marzuki paham. Anggaran yang
digunakannya untuk membangun gedung DPR, berasal dari pajak rakyat,. Sejak
dalam kandungan sampai ke liang lahat,
rakyat telah membayar pajak untuk Negara ini. Pajak merupakan bentuk hubungan antara warga
dan Negara. Warga miskin sekali-pun, memiliki andil berkonstribusi pada
perekonomian Negara. Tidak lah patut, Ketua DPR
yang justru memperoleh tunjangan pajak penghasilan yang ditanggung
Negara, merasa lebih berhak membahas gedung DPR dibandingkan rakyat jelata. Pernyataan, hanya orang-orang elit dan pintar yang bisa
diajak bicara justru tidak mencerminkan pendapat orang pintar atau terpelajar.
Meminjan kutipan roman “Bumi Manusia” Pramoedya Ananta Toer; “Seseorang
terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam
perbuatan”.
Sebagai Ketua DPR, seharusnya paham prinsip-prinsip keuangan
Negara dan fungsi anggaran seperti
diatur pada pasal 3 UU No 17 2003. Diantaranya efisien, ekonomis, serta
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Apakah bisa dikatakan efisien? DPR
telah memiliki gedung, namun kurang ruangan. Lantas membangun gedung baru.
Bicara efisien artinya dengan masukan seminimal mungkin, menghasilkan keluaran
optimal. Tidak ada jaminan DPR saat di gedung lama, setelah pindah ke gedung
baru akan meningkat kinerjanya.
Prinsip ekonomis menunjukan alokasi anggaran yang digunakan
harus bernilai ekonomi. Pidato Presiden SBY dalam penyampaian nota keuangan
APBN 2011, untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi dengan meningkatkan belanja modal, tidak akan ada artinya jika belanja
modal diarahkan untuk membangun gedung DPR. Mana yang lebih ekonomis? Anggaran
Rp. 1,1 triliyun untuk membangun gedung DPR yang akan dihuni 560 elit atau
membangun jalan sepanjang atau membangun 1,100 Km jalan yang menghubungkan
jalur distribusi pangan. Membangun infrastruktur jalan adalah prioritas
kebutuhan, membangun gedung DPR adalah keinginan.
Anggaran juga memiliki fungsi distribusi yang memiliki arti
kebijakan anggaran Negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Dimana letak keadilan? Disaat yang sama program-program penanggulangan
kemiskinan seperti PNPM dan BOS berasal dari utang, sementara pajak dari rakyat
yang seharusnya menjadi instrumen
pemerataan pendapatan, justru untuk membangun gedung DPR yang hanya dinikmati segelintir
elit senayan. Dari sisi kepatutan, apakah patut? Dengan garis kemiskinan Rp.
221 ribu, anggaran gedung baru setara dengan 5,5 juta orang miskin.
Marzuki Alie sepertinya lupa, salah satu sumpah/janji DPR
menjalankan kewajiban dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara dari
pada kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya. Mungkin Marzuki Alie juga
tidak ingat, DPR memiliki tugas menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Sehingga tidak salah, survey bisa
dijadikan alat untuk mengukur aspirasi rakyat terhadap pembangunan gedung baru.
Meskipun, penolakan publik diberbagai media sudah mencerminkan tidak sejalannya
aspirasi masyarakat dengan keinginan pembangunan gedung DPR..
Sedari awal, alasan
pembangunan gedung baru DPR sudah sarat kebohongan. Mulai dari gedung
miring, hingga kelebihan kapasitas. Kebohongan lain juga terungkap, bahwa
pembangunan gedung baru merupakan rekomendasi tim kinerja dan telah disetuji DPR periode
sebelumnya ternyata tidak ada dalam rekomendasi tim kinerja (Kompas, 01/004/2010).
Dari sisi harga juga tercium aroma tidak sedap. Usulan biaya
senilai Rp. 1,8 trilyun, dengan adanya kritik publik, terus mengalami penurunan
menjadi Rp. 1,6 trilyun, Rp. 1,3 trilyun dan terakhir Rp.1,1 trilyun.
Kecurigaan usulan anggaran di atas biaya sesungguhnya, memperkuat adanya
elit-elit yang mencari rente dari proyek mercu suar ini. Berangkat dari pengalaman pengadaan Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata
yang juga bersifat tahun jamak, proyek gedung DPR juga berpotensi membengkak
anggaran dari yang telah direncakanakan.
Penolakan Fraksi
Muncul penolakan beberapa fraksi dan gerakan moral
penggalangan tanda tangan lintas fraksi untuk menolak gedung baru patut untuk
diapresiasi. namun juga patut dipertanyakan. Mengingat keanggotaan Badan Urusan
Rumah Tangga (BURT) merupakan perwakilan fraksi-fraksi. Tugas BURT pada UU 27
tahun 2009 juga menyatakan kewajiban untuk menyampaikan hasil keputusan dan
kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR dan menyampaikan laporan kinerja dalam
rapat paripurna DPR. Jika ini tidak dilakukan, maka fraksi-fraksi yang saat ini
menolak dituntut konsitensinya untuk menarik perwakilan anggota fraksinya di
BURT dan melaporkannya ke Badan Kehormatan karena tidak menjalankan tugas.
Pasalnya, berangkat dari pengalaman yang sudah-sudah,
penolakan atau penundaan hanya untuk mencari popularatias politik, atau sekedar
cari selamat ditengah kritik publik. Namun setelah kritik publik mereda atau
dialihkan dengan isu lain, usulan
kembali dilakukan secara diam-diam, seperti menyelubungi dana aspirasi, dengan bentuk Dana Penguatan Infrastuktur Daerah
(DPID).
Kalau memang penolakan ini serius, DPR harus segera
menghapuskan anggaran gedung baru dari Setjen DPR pada APBN-Perubahan.
Perbaikan lebih strategis ke depan juga perlu dilakukan dalam memperbaiki
mekanisme perencanaan anggaran di tubuh BURT.
DPR yang mulai mengalami krisis legitimasi, dapat merebut kembali hati
rakyat, jika berani membuka rencana anggaran yang disusun BURT termasuk rencana
studi banding untuk diuji dan diberikan penilaian oleh publik.
Sebagai kader demokrat, yang notabene partainya Presiden
yang berkuasa, Marzuki Alie seharusnya malu. Presiden mengeluarkan Inpres No 7
tahun 2011 tentang penghematan belanja Kementerian/Lembaga tahun 2011,
sementara kadernya memimpin DPR dan memiliki fungsi anggaran sesuai amanat konstitusi
justru tidak menjadi lokomotif dalam penghematan anggaran. Jika praktek aji
mumpung, penghamburan uang Negara terus berlangsung, DPR akan mengalami posisi tawar lemah dan kemandulan
fungsi anggaran dalam mengkritisi proposal anggaran pemerintah.
Cukup sudah, komentar miring dari masinis gedung miring. Sepatutnya
Marzuki Alie merenungkan kutipan cerpen “robohnya surau kami” karya A.A Navis (2002):
“Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri, Kau takut
masuk neraka, tapi kau lupakan kehiduan kaummu sendiri. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikit pun”.
Yuna Farhan
Sekretaris Jenderal
Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/05444082/elite.gedung.miring
Sumber: Kompas
Tanggal: 05 Apr 11
Tanggal: 05 Apr 11
No comments:
Post a Comment