Tepat tanggal 1 September 2011 kebijakan moratorium Pegawai
Negeri Sipil (PNS) resmi diberlakukan selama 16 bulan. Kebijakan yang berlaku
sampai 31 Desember 2012 ini, ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB)
yang ditandatangani tiga menteri; Menteri Keuangan, Menteri Pendayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri.
Asal muasal kebijakan ini, dilontarkan oleh Menteri
Keuangan, yang mengeluhkan semakin tingginya beban belanja Negara untuk
membiayai pegawai, di tingkat pusat maupun daerah. Disambut tim reformasi
birokrasi, menawarkan moratorium pengangkatan PNS. Padahal, beberapa bulan yang
lalu, Menkeu sendiri yang paling ngotot mengusulkan kenaikan gaji pejabat,
pasca Presiden mengeluhkan gajinya yang tidak pernah naik.
Beban belanja pegawai pada APBN memang semakin berat. Pada
RAPBN 2012, belanja pegawai merupakan alokasi belanja tertinggi, sebesar Rp.
215,7 triliun. Bahkan mengalahkan belanja subsidi yang selama ini mendominasi. Potret
yang sama terjadi di daerah. Hasil analisa FITRA pada APBD 2011, terdapat 124
daerah yang beban belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah diantaranya
mencapai 70%. Analisis Kemenkeu juga menunjukan, belanja pegawai terbesar di
Kabupaten Demak dengan mencapai 89%.
Bom waktu belanja pegawai tidak terlepas dari kebijakan
kepegawaian yang tidak memperhatikan implikasinya terhadap anggaran Negara. Selain
rekrutment pegawai baru, kebijakan seperti,
pemberian gaji ke-13, kenaikan gaji pokok antara 5-20% sejak tahun 2006,
dan kenaikan berbagai tunjangan serta pemberian tambahan uang makan, secara
otomatis tidak hanya menambah beban belanja gaji pokok. APBN juga harus
menanggung beban pembayaran pensiun, yang sebelumnya sharing pembiayaan dengan Taspen, sejak tahun 2009, seratus persen
menjadi beban APBN (Nota Keuangan RAPBN 2012, IV-80).
Kebijakan pemberian remunerasi sebagai salah satu agenda
reformasi birokasi, yang dimulai sejak
tahun 2007 pada 3 Kementerian/Lembaga (K/L) dan terakhir pada tahun 2011 pada
14 K/L juga menambah beban belanja pegawai. Tercatat pada tahun 2010
dialokasikan 13,4 triliun untuk pemberian remunerasi ini.
Begitu pula dengan semakin menjamurnya Lembaga Non
Struktural (LNS) yang berpotensi memiliki peran tumpang tindih. Berdasarkan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2007, tercatat terdapat 76 LNS
dengan memakan beban belanja pegawai Rp. 483,3 miliar. Kemudian membengkak menjadi 101 LNS dengan belanja
pegawai Rp. 1,87 triliun pada tahun 2010.
Buruknya potret anggaran daerah, juga tidak terlepas dari
kebijakan anggaran dan kepegawaian yang tidak selaras di tingkat pusat. Seperti
diketahui, rata-rata 80% sumber pendapatan daerah tergantung dari dana
perimbangan. Disisi lain, 68% belanja transfer yang dialokasikan ke daerah,
sebagian besar diperuntukan belanja pegawai, seperti Dana Alokasi Umum (DAU)
dan tambahan tunjangan Guru. Ditambah lagi dengan formula DAU yang
memperhitungkan belanja pegawai sebagai alokasi dana dasar. Sehingga tidak
memberikan insentif bagi daerah yang melakukan perampingan birokrasi atau
meningkatkan pendapatannya.
Kebijakan DAU ini juga tidak memberikan disisentif bagi laju
pemekaran daerah. Sebagai konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai
merupakan keharusan, ditambah rekrutmen yang masih mengutamakan putra daerah
dibandingkan profesionalitas. DAU yang menjadi tumpuan membiayayai pegawai
daerah, secara tidak langsung berkurang . Sebagai contoh, pada tahun 2008
terdapat 481 daerah dan tahun 2009 naik menjadi 477 daerah, karena terjadinya pemekaran,
rata-rata penerimaan DAU berkurang, dari Rp. 358 milyar pada tahun 2008 menjadi
Rp. 351,7 miliar pada tahun 2009 (Nota Keuangan, 2011).
Sebagai arena zero sum
game, belanja pegawai yang membengkak di daerah, otomatis mengorbankan
alokasi belanja lain seperti belanja modal. Semakin mahalnya “ongkos tukang” di
daerah, juga disebabkan tidak jelasnya pengaturan mengenai tambahan tunjangan pegawai daerah. DKI
Jakarta sebagai daerah kaya yang beruntung sebagai Ibu Kota, memberikan tambahan
tunjangan pegawai setingkat staff sebesar Rp. 2,9 – Rp. 4,7 juta dan pejabat
eselon I sebesar Rp. 50 juta.
Kebijakan moratorium saja tidak cukup, sepanjang kebijakan
reformasi birokrasi masih bersifat parsial dan sebatas “kosmetik politik”.
Buktinya, meski-pun kebijakan moratorium PNS diberlakukan, belanja pegawai pada
RAPBN 2012 justru meningkat paling tinggi sebesar Rp. 32,8 triliun. Didalamnya
juga dialokasikan gaji bagi tambahan pegawai baru (Nota Keuangan RAPBN 2012,
IV-205).
Moratorium juga tidak akan signifikan mengurangi beban
belanja pegawai. Dari kajian FITRA, rata-rata kenaikan jumlah pegawai dalam 5
tahun terakhir adalah 2 persen,
sementara kenaikan belanja pegawai jauh lebih signifikan yakni 20%. Artinya,
beratnya belanja pegawai lebih disebabkan semakin meningkatnya ongkos pegawai
dibandingkan pertumbuhan jumlah Pegawai.
Kebijakan moratorium PNS dan beratnya beban belanja pegawai,
merupakan penanda kegagalan disain reformasi birokrasi, karena tidak mempertimbangkan konsekuensinya
terhadap beban anggaran. Kebijakan yang masih bersifat ego sektoral,
berimplikasi terhadap kepegawaian dan beban anggaran. Struktur birokrasi yang
semakin gemuk, dengan menjamurnya LNS dan belanja birokrasi yang semakin boros
dengan tambahan remunerasi dan tunjangan, justru bertentangan dengan semangat
reformasi birokrasi yang dipahami publik selama ini.
Perbaikan penghasilan dan pemberian remunerasi, seharusnya
diikuti dengan peningkatan produktivitas pegawai. Sementara, pegawai yang tidak
produktif dan tidak kompeten, akibat rekruitment yang masih sarat KKN, serta
pejabat yang memiliki harta tidak wajar,
harus dipangkas. Dengan demikian, hasil pemangkasan dapat dikonversi
untuk menutupi tambahan penghasilan. Sehingga dapat menghasilkan birokrasi yang
ramping dan efisien dari sisi biaya.
Moratorium bukanlah kebijakan utama reformasi birokrasi. Moratarium
harus dipandang sebagai pintu masuk untuk membenahi disain reformasi birokrasi.
Selama moratorium dilakukan, harus disertai dengan kebijakan dari sektor lain yang terintegrasi dan
sejalan. Seperti; pembenahan LNS, perampingan pegawai tidak produktif, rasio
pegawai, indikator kinerja pegawai, standar pelayanan, perbaikan skema dana
perimbangan, dan pemekaran daerah.
Kebijakan moratorium saja, justru akan menghadapkan Negara
ini pada “bom waktu” belanja pegawai, yang semakin mempersempit ruang fiskal untuk
membiayai pembangunan.
Yuna Farhan
SekJen FITRA (Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran)
Yuna Farhan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
Tanggal: 7 September 2011
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/09/07/02042273/moratorium.belanja.pegawai